Selasa, 27 Juli 2010
Senin, 28 Juni 2010
RINDU NEGERI BARU (Nafas Politik Dari Timur-Tengah Nusantara)
MuchtarMuin Mallarani
RINDU NEGERI BARU
(Nafas Politik Dari Timur-Tengah Nusantara)
Oktober 1999.
Di ruang keluarga, sehabis shalat maghrib dan makan malam, kami berkumpul. Tiba-tiba, saya terperanjat. “Alamak…. Ya Allah…. Muhammadarrasulullah…” (Kata seru yang sering diucapkan masyarakat Makassar sebagai bentuk spontanitas keheranan). Spontan, semua anggota keluarga menoleh ke arahku yang sementara menonton televisi. Betapa tidak, dari layar kaca bergerak itu, aku menyaksikan ribuan orang tumpah ruah di jalanan kota sambil melakukan makar melumpuhkan kota. Mereka meneriakkan kata “Merdeka” sambil mengibarkan bendera orange berlambang Pulau Sulawesi di tengah-tengah. Gegap-gempita terdengar yel-yel “Sulawesi Merdeka”. Peristiwa ini masih terangkum jelas di memoriku saat itu hingga kini. Hingga keesokan harinya sebagai wujud simpati, aku menggambar bendera orange yang baru kulihat di televisi itu dengan lancarnya dan membawanya ke sekolah. Waktu itu, aku sementara duduk di bangku kelas 6 SD.
Aksi masyarakat Sulawesi Selatan yang terjadi di Kotamadya Ujung Pandang, kala itu kalau tak salah merupakan buntut dari kekecewaan masyarakat Bugis-Makassar terhadap penolakan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Presiden Habibie dan kekalahannya dalam pemilihan presiden RI oleh MPR.
Untung saja, tokoh masyarakat setempat (Bugis-Makassar) masih berlapang dada dan dewasa dalam menghargai dinamika politik kebangsaan, sehingga aksi makar menuntut pemisahan atau disintegrasi bangsa beraroma politik itu dapat dipadamkan dengan baik. Sudah menjadi siri maka mereka membela rasa malu. Karena bagi masyarakat Bugis-Makassar, menjadi siri atau aib bila tak mampu menjalankan amanah yang diembannya. Di mata orang Bugis-Makassar, harta kekayaan dapat dibeli tetapi harga diri dan siri adalah pemberian Tuhan yang tidak diperjualbelikan di manapun. Sekali harga diri dan siri itu hilang, tak ada gunanya untuk hidup lagi.
Puncaknya, sebagai bentuk menumbuhkan patriotisme kebangsaan dan untuk membangkitkan semangat perjuangan “siri na pacce” oleh Bapak BJ. Habibie beserta tokoh-tokoh masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) maka tepat tanggal 13 Oktober 1999 nama Ujung Pandang yang telah dipakai semenjak 1971 diganti dengan nama yang sarat nilai historis itu, “Makassar” akhirnya resmi digunakan kembali.
Menengok Kembali Perjuangan Leluhur
Aksi menuntut pemisahan diri dan upaya mendirikan Negara sendiri bukanlah hal yang asing bagi masyarakat Sulsel, jauh sebelum Oktober kelabu itu, masyarakat Bugis-Makassar pernah mengalaminya. Dari bangku SD, SMP, hingga SMA, pelajaran Sejarah selalu saya dan bahkan semua mendapatkan pelajaran tentang aksi-aksi pemberontakan di tanah air. Sebutlah pemberontakan Andi Azis dan upaya mendirikan Negara Islam oleh Kahar Mudzakkar melalui baju DI/TII di Sulawesi Selatan. Aroma pemberontakan terhadap NKRI ini bila ditelusuri memiliki muatan politis yang sarat dengan aroma kekecewaan dan sekali lagi, siri.
Pemberontakan Kapten Andi Azis ini terjadi pada tanggal 5 April 1950. Pemberontakan ini terjadi manakala kesatuan-kesatuan bekas KNIL di bawah pimpinan Kapten Andi Azis berontak menentang kedatangan pasukan APRIS dari unsur TNI yang dikirim dari Jawa. Hingga akhirnya, ia termakan pengaruh dari Dr. Soumokil, pemimpin RMS untuk menyatakan dirinya lepas dari NIT maupun RIS.
Berselang satu tahun, kembali meletus pemberontakan Kahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan. Ia memasukkan kesatuan-kesatuan laskar tentara di bawah pengaruhnya bergabung dengan DI/TII pimpinan SM. Kartosuwiryo di Jabar dan berusaha mendirikan Negara Islam di Sulawesi Selatan.
Dari kedua usaha pemberontakan dalam rangka mendirikan Negara Baru ini dapat saya simpulkan sarat dengan muatan politis beraroma siri, karena tak dapat dipungkiri, orang Bugis-Makassar hidup demi siri.
Lihatlah Kami Sekarang!
Tampilnya BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden RI dan menjadi Presiden RI ketiga menggantikan Soeharto yang meletakkan jabatan Presiden pada tanggal 21 Mei 1998 hingga Oktober 1999, praktis membuka pintu bagi Putra Sulsel menduduki jabatan strategis kenegaraan. Pameo yang menyatakan bahwa Kabinet Reformasi Pembangunan sarat dengan aroma SDM (Semua Dari Makassar) sering diplesetkan banyak orang. Tapi, setidaknya, menurut hemat saya, strategi itu justru menjadi awal melambungnya nama Sulsel di tingkatan nasional. Inilah momentum kebangkitan masyarakat Sulsel yang telah lama tenggelam pasca Perjanjian Bongayya yang mengakibatkan masyarakat Bugis-Makassar kala itu memilih berdiaspora dengan modal Perahu Phinisinya yang lincah mengarungi samudera ke berbagai belahan Nusantara bahkan Dunia.
Di penghujung abad ke-20 dan memasuki awal abad ke-21, tokoh-tokoh Sulsel di tingkatan nasional mulai bermunculan. Mulai dari pimpinan partai politik (parpol), lembaga tinggi Negara, militer, akademisi, atlet, pengusaha, hingga jajaran menteri, utamanya bidang hukum dan kehakiman, mulai dari Andi M. Ghalib, Baharuddin Lopa, Hamid Awaluddin hingga Andi Mattalatta. Sederet nama-nama pimpinan parpol seperti AM. Fatwa, Sophan Sophiaan, Alwi Shihab, Ryass Rasyid, hingga Jusuf Kalla turut mewarnai dinamika politik tanah air.
Lihatlah Kami sekarang! Setidaknya, itulah ungkapan masyarakat Sulsel kekinian. Tidak hanya sumber daya manusianya yang cakap dan unjuk gigi dalam posisi dan jabatan kenegaraan, tetapi pembangunan infrastruktur dan sarana vital lainnya turut diperhatikan. Cobalah jalan-jalan ke tanah Sulsel, tengoklah Kota Makassar, anda akan terkesima melihat kemajuan daerah Sulsel dalam satu dekade terakhir yang sangat membanggakan. Anda akan dimanja dengan kemegahan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta kelas satu, pusat-pusat perbelanjaan, pusat permainan, rekreasi dan hiburan keluarga berkelas dunia, kenyamanan jalan, dan berkembangnya sarana pendidikan berkelas di Kota Anging Mammiri ini.
Tak hanya orang Sulsel yang berhasil tampil dalam panggung politik nasional. Di Negeri Jiran, putra Sulsel hasil diaspora pasca Perjanjian Bongayya, turut mengharumkan nama Bugis-Makassar. Adalah Tun Najib Bin Tun Abdul Razak, putra dari Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak sukses melanjutkan karir politik ayahnya sebagai Perdana Menteri Malaysia masa sekarang yang adalah asli keturunan Raja Gowa.
Merindu Hari Esok
Saya pun kagum dan bangga atas torehan prestasi para tokoh dan leluhur kami. Satu yang saya khawatirkan ialah bila suatu saat, mereka merindukan tanah leluhur mereka mencapai kejayaan dengan kemandirian sejati dan pantang dipandang daerahnya sebelah mata, apalagi dianggap remeh dan mengganggu siri mereka. Merindu hari esok dengan mengusung panji kebesaran Bugis-Makassar, penguasa dan penjelajah samudera yang disegani di Nusantara. Akankah mereka kembali dari hasil berdiaspora leluhur mereka dan anak-cucunya merindukan tanah leluhurnya?
Terngiang dalam benak saya, akankah nafas politik Bugis-Makassar akan menyamai dan melakukan hal yang sama dengan Kaum Yahudi yang kembali setelah lama berdiaspora dan merindu akan negeri sendiri, negeri leluhur mereka: Israel. Bugis-Makassar telah berdiaspora di belahan dunia. Saya telah banyak membaca manuskrip tentangnya dan menemukan beberapa lokasi atau tempat pemukiman mereka: Johor, Selangor dan Malaka; Malaysia, Maccassar Cape; Afrika Selatan, Bugis Street; Singapura, Sabah dan menguasai Utara Kaltim, dan di mana ada pelabuhan dan sepanjang pantai di Kepulauan Nusantara, kita dapat dengan mudah mengenalinya: Perahu Phinisi. Kini, untuk mempererat hubungan darah tersebut, dibentuklah PSBM (Persaudaraan Saudagar Bugis-Makassar) yang intens melakukan pertemuan tahunan di Kota Makassar. Ini bisa saja menjadi potensi disintegrasi kesatuan Republik manakala suatu saat, karena siri, mereka meretas jalan untuk pisah dan mendirikan Negara Bugis-Makassar. Wallahu a’lam.
Bila ditelusur dari lembaran sejarah, Bugis-Makassar sangat dikenal dalam pergulatan politik Nusantara zaman Kolonial, baik Portugis, Hindia Belanda, hingga Jepang. Makassar sejak zaman kerajaan dikenal sebagai Bandar niaga tersibuk dan jalur dagang terpenting di dunia, hingga tak salah bila sejak zaman Hindia Belanda sampai Jepang, Kota Makassar menjadi langganan ibukota pemerintahan dan administrasi di Timur Nusantara.
Tak dapat dipungkiri, orang Sulsel pada umumnya dikenal sangat temperamen. Hal ini memang karakter yang sangat sukar dihilangkan dalam kehidupan masyarakat Sulsel utamanya di kalangan Bugis-Makassar. Bercermin dari pemberontakan Kapten Andi Azis dan Kahar Mudzakkar hingga peristiwa Oktober kelabu 1999 bila ditelisik akar persoalannya akan bermuara sama, yaitu persoalan harga diri dan siri.
Semoga hal itu hanya menjadi halusinasi penulis dalam memaknai dan mencoba menerawang masa depan tanah leluhur: Bugis-Makassar dalam dinamika politik kebangsaan. Rindu akan Negara Baru memang ada, namun apa yang saya tuliskan adalah bagian kecil dari realitas nafas politik masyarakat dari Timur-Tengah Nusantara.
RINDU NEGERI BARU
(Nafas Politik Dari Timur-Tengah Nusantara)
Oktober 1999.
Di ruang keluarga, sehabis shalat maghrib dan makan malam, kami berkumpul. Tiba-tiba, saya terperanjat. “Alamak…. Ya Allah…. Muhammadarrasulullah…” (Kata seru yang sering diucapkan masyarakat Makassar sebagai bentuk spontanitas keheranan). Spontan, semua anggota keluarga menoleh ke arahku yang sementara menonton televisi. Betapa tidak, dari layar kaca bergerak itu, aku menyaksikan ribuan orang tumpah ruah di jalanan kota sambil melakukan makar melumpuhkan kota. Mereka meneriakkan kata “Merdeka” sambil mengibarkan bendera orange berlambang Pulau Sulawesi di tengah-tengah. Gegap-gempita terdengar yel-yel “Sulawesi Merdeka”. Peristiwa ini masih terangkum jelas di memoriku saat itu hingga kini. Hingga keesokan harinya sebagai wujud simpati, aku menggambar bendera orange yang baru kulihat di televisi itu dengan lancarnya dan membawanya ke sekolah. Waktu itu, aku sementara duduk di bangku kelas 6 SD.
Aksi masyarakat Sulawesi Selatan yang terjadi di Kotamadya Ujung Pandang, kala itu kalau tak salah merupakan buntut dari kekecewaan masyarakat Bugis-Makassar terhadap penolakan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Presiden Habibie dan kekalahannya dalam pemilihan presiden RI oleh MPR.
Untung saja, tokoh masyarakat setempat (Bugis-Makassar) masih berlapang dada dan dewasa dalam menghargai dinamika politik kebangsaan, sehingga aksi makar menuntut pemisahan atau disintegrasi bangsa beraroma politik itu dapat dipadamkan dengan baik. Sudah menjadi siri maka mereka membela rasa malu. Karena bagi masyarakat Bugis-Makassar, menjadi siri atau aib bila tak mampu menjalankan amanah yang diembannya. Di mata orang Bugis-Makassar, harta kekayaan dapat dibeli tetapi harga diri dan siri adalah pemberian Tuhan yang tidak diperjualbelikan di manapun. Sekali harga diri dan siri itu hilang, tak ada gunanya untuk hidup lagi.
Puncaknya, sebagai bentuk menumbuhkan patriotisme kebangsaan dan untuk membangkitkan semangat perjuangan “siri na pacce” oleh Bapak BJ. Habibie beserta tokoh-tokoh masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) maka tepat tanggal 13 Oktober 1999 nama Ujung Pandang yang telah dipakai semenjak 1971 diganti dengan nama yang sarat nilai historis itu, “Makassar” akhirnya resmi digunakan kembali.
Menengok Kembali Perjuangan Leluhur
Aksi menuntut pemisahan diri dan upaya mendirikan Negara sendiri bukanlah hal yang asing bagi masyarakat Sulsel, jauh sebelum Oktober kelabu itu, masyarakat Bugis-Makassar pernah mengalaminya. Dari bangku SD, SMP, hingga SMA, pelajaran Sejarah selalu saya dan bahkan semua mendapatkan pelajaran tentang aksi-aksi pemberontakan di tanah air. Sebutlah pemberontakan Andi Azis dan upaya mendirikan Negara Islam oleh Kahar Mudzakkar melalui baju DI/TII di Sulawesi Selatan. Aroma pemberontakan terhadap NKRI ini bila ditelusuri memiliki muatan politis yang sarat dengan aroma kekecewaan dan sekali lagi, siri.
Pemberontakan Kapten Andi Azis ini terjadi pada tanggal 5 April 1950. Pemberontakan ini terjadi manakala kesatuan-kesatuan bekas KNIL di bawah pimpinan Kapten Andi Azis berontak menentang kedatangan pasukan APRIS dari unsur TNI yang dikirim dari Jawa. Hingga akhirnya, ia termakan pengaruh dari Dr. Soumokil, pemimpin RMS untuk menyatakan dirinya lepas dari NIT maupun RIS.
Berselang satu tahun, kembali meletus pemberontakan Kahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan. Ia memasukkan kesatuan-kesatuan laskar tentara di bawah pengaruhnya bergabung dengan DI/TII pimpinan SM. Kartosuwiryo di Jabar dan berusaha mendirikan Negara Islam di Sulawesi Selatan.
Dari kedua usaha pemberontakan dalam rangka mendirikan Negara Baru ini dapat saya simpulkan sarat dengan muatan politis beraroma siri, karena tak dapat dipungkiri, orang Bugis-Makassar hidup demi siri.
Lihatlah Kami Sekarang!
Tampilnya BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden RI dan menjadi Presiden RI ketiga menggantikan Soeharto yang meletakkan jabatan Presiden pada tanggal 21 Mei 1998 hingga Oktober 1999, praktis membuka pintu bagi Putra Sulsel menduduki jabatan strategis kenegaraan. Pameo yang menyatakan bahwa Kabinet Reformasi Pembangunan sarat dengan aroma SDM (Semua Dari Makassar) sering diplesetkan banyak orang. Tapi, setidaknya, menurut hemat saya, strategi itu justru menjadi awal melambungnya nama Sulsel di tingkatan nasional. Inilah momentum kebangkitan masyarakat Sulsel yang telah lama tenggelam pasca Perjanjian Bongayya yang mengakibatkan masyarakat Bugis-Makassar kala itu memilih berdiaspora dengan modal Perahu Phinisinya yang lincah mengarungi samudera ke berbagai belahan Nusantara bahkan Dunia.
Di penghujung abad ke-20 dan memasuki awal abad ke-21, tokoh-tokoh Sulsel di tingkatan nasional mulai bermunculan. Mulai dari pimpinan partai politik (parpol), lembaga tinggi Negara, militer, akademisi, atlet, pengusaha, hingga jajaran menteri, utamanya bidang hukum dan kehakiman, mulai dari Andi M. Ghalib, Baharuddin Lopa, Hamid Awaluddin hingga Andi Mattalatta. Sederet nama-nama pimpinan parpol seperti AM. Fatwa, Sophan Sophiaan, Alwi Shihab, Ryass Rasyid, hingga Jusuf Kalla turut mewarnai dinamika politik tanah air.
Lihatlah Kami sekarang! Setidaknya, itulah ungkapan masyarakat Sulsel kekinian. Tidak hanya sumber daya manusianya yang cakap dan unjuk gigi dalam posisi dan jabatan kenegaraan, tetapi pembangunan infrastruktur dan sarana vital lainnya turut diperhatikan. Cobalah jalan-jalan ke tanah Sulsel, tengoklah Kota Makassar, anda akan terkesima melihat kemajuan daerah Sulsel dalam satu dekade terakhir yang sangat membanggakan. Anda akan dimanja dengan kemegahan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta kelas satu, pusat-pusat perbelanjaan, pusat permainan, rekreasi dan hiburan keluarga berkelas dunia, kenyamanan jalan, dan berkembangnya sarana pendidikan berkelas di Kota Anging Mammiri ini.
Tak hanya orang Sulsel yang berhasil tampil dalam panggung politik nasional. Di Negeri Jiran, putra Sulsel hasil diaspora pasca Perjanjian Bongayya, turut mengharumkan nama Bugis-Makassar. Adalah Tun Najib Bin Tun Abdul Razak, putra dari Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak sukses melanjutkan karir politik ayahnya sebagai Perdana Menteri Malaysia masa sekarang yang adalah asli keturunan Raja Gowa.
Merindu Hari Esok
Saya pun kagum dan bangga atas torehan prestasi para tokoh dan leluhur kami. Satu yang saya khawatirkan ialah bila suatu saat, mereka merindukan tanah leluhur mereka mencapai kejayaan dengan kemandirian sejati dan pantang dipandang daerahnya sebelah mata, apalagi dianggap remeh dan mengganggu siri mereka. Merindu hari esok dengan mengusung panji kebesaran Bugis-Makassar, penguasa dan penjelajah samudera yang disegani di Nusantara. Akankah mereka kembali dari hasil berdiaspora leluhur mereka dan anak-cucunya merindukan tanah leluhurnya?
Terngiang dalam benak saya, akankah nafas politik Bugis-Makassar akan menyamai dan melakukan hal yang sama dengan Kaum Yahudi yang kembali setelah lama berdiaspora dan merindu akan negeri sendiri, negeri leluhur mereka: Israel. Bugis-Makassar telah berdiaspora di belahan dunia. Saya telah banyak membaca manuskrip tentangnya dan menemukan beberapa lokasi atau tempat pemukiman mereka: Johor, Selangor dan Malaka; Malaysia, Maccassar Cape; Afrika Selatan, Bugis Street; Singapura, Sabah dan menguasai Utara Kaltim, dan di mana ada pelabuhan dan sepanjang pantai di Kepulauan Nusantara, kita dapat dengan mudah mengenalinya: Perahu Phinisi. Kini, untuk mempererat hubungan darah tersebut, dibentuklah PSBM (Persaudaraan Saudagar Bugis-Makassar) yang intens melakukan pertemuan tahunan di Kota Makassar. Ini bisa saja menjadi potensi disintegrasi kesatuan Republik manakala suatu saat, karena siri, mereka meretas jalan untuk pisah dan mendirikan Negara Bugis-Makassar. Wallahu a’lam.
Bila ditelusur dari lembaran sejarah, Bugis-Makassar sangat dikenal dalam pergulatan politik Nusantara zaman Kolonial, baik Portugis, Hindia Belanda, hingga Jepang. Makassar sejak zaman kerajaan dikenal sebagai Bandar niaga tersibuk dan jalur dagang terpenting di dunia, hingga tak salah bila sejak zaman Hindia Belanda sampai Jepang, Kota Makassar menjadi langganan ibukota pemerintahan dan administrasi di Timur Nusantara.
Tak dapat dipungkiri, orang Sulsel pada umumnya dikenal sangat temperamen. Hal ini memang karakter yang sangat sukar dihilangkan dalam kehidupan masyarakat Sulsel utamanya di kalangan Bugis-Makassar. Bercermin dari pemberontakan Kapten Andi Azis dan Kahar Mudzakkar hingga peristiwa Oktober kelabu 1999 bila ditelisik akar persoalannya akan bermuara sama, yaitu persoalan harga diri dan siri.
Semoga hal itu hanya menjadi halusinasi penulis dalam memaknai dan mencoba menerawang masa depan tanah leluhur: Bugis-Makassar dalam dinamika politik kebangsaan. Rindu akan Negara Baru memang ada, namun apa yang saya tuliskan adalah bagian kecil dari realitas nafas politik masyarakat dari Timur-Tengah Nusantara.
Senin, 05 April 2010
BOLU PANGKEP MANTAP MENTONG!
Hmmm…. Maknyos. Rasanya Mantap Bro. Ya, itulah kata-kata yang sering diucapkan oleh pembawa acara Petualangan Kuliner di berbagai daerah di Nusantara pada salah satu stasiun televisi swasta nasional.
Mungkin Anda merasa ngiler dengan hidangan makanan yang disajikan dan diperkenalkan pada pemirsa Indonesia. Aromanya yang mewangi, sajiannya yang lezat, gurih, nikmat, enak di lidah serta ditata dan dikemas dengan rapi, lalu dihidangkan di resto dan warung makan berkelas di pusat-pusat Ibukota.
Hingga, tak salah memang, jika pembawa acara setelah mencicipi dengan lantang ia berucap, Hmmm…. Maknyos, rasanya mantap Bro.
Aku pun sama dengan Anda. Tertarik ingin menjelajahi masakan Nusantara hasil kreasi Anak Bangsa. Namun, tak semudah itu menjelajahi Nusantara dengan mudah, tapi cukup dalam skala regional Sulawesi Selatan (Sulsel) dulu.
Ku coba memasuki warung-warung makanan khas Sulsel yang dapat dengan mudah ditemui di sepanjang jalan di 23 Kabupaten/Kota di Sulsel.
Hidangan khas Sulsel seperti: Coto Makassar, Coto Daeng, Coto Dewi, Coto Kuda Turatea, Pallu Mara, Sup Kepala Ikan (Ulu Juku), Konro, Ikan Baronang, Dangke, Bolu Rampa, Pallu Butung, Barongko, Pisang Ngepe’, Dange, dan tak ketinggalan Sop Saudara Pangkep.
Semua hidangan ini telah kucicipi dan tak jauh beda dengan aroma dan kelezatan seperti yang ditampilkan dalam acara Maknyos tadi.
Tapi, ada satu hidangan yang membuatku berpikir dan selalu bertanya dalam hati, Sop Saudara Pangkep. Ikan bolunya (ikan bandeng) terlihat begitu besar lagi berisi.
Tak pernah kutemui ikan bolu sebesar dan selezat bolu Pangkep. Hidangan Bolu Pangkep yang disajikan lewat brand Sop Saudara Pangkep memang mantap mentong.
Sudah saatnya, hidangan ini dimanfaatkan sebagai hidangan khas daerah yang dapat disajikan sebagai menu utama pariwisata dan dihidangkan dalam perjamuan resmi pemerintah setempat dan disebarluaskan ke penjuru pelosok tanah air bahkan dunia dengan menu ikan bolunya yang besar, berisi, lagi lezat.
Brand Bolu Pangkep
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan atau disingkat Pangkep merupakan daerah yang kaya ikan. Wilayahnya meliputi tiga dimensi, dataran rendah, dataran tinggi dan kepulauan.
Hamparan tanah di sepanjang bibir selat Makassar terhampar luas tambak-tambak rakyat atau empang dalam masyarakat sekitar sebagai media budidaya ikan bandeng yang lebih popular disebut ikan bolu.
Bolu Pangkep memang lain dari bolu kebanyakan. Bolu Pangkep memiliki postur besar dan dagingnya padat berisi. Bolu Pangkep ini sangat potensial dikembangkan untuk komoditi ekspor ke mancanegara.
Pemerintah melalui kerjasama antara Dinas Kelautan dan Perikanan dengan Dinas UKM dan Koperasi seyogyanya bersinergi dalam menciptakan brand Bolu Pangkep sebagai komoditi unggulan laik ekspor dan dipasarkan di pasar-pasar seluruh Indonesia dan bahkan di Negara tetangga terdekat seperti Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam serta Filipina.
Caranya dengan melabeli komoditi ini dengan nama daerahnya, Pangkep seperti layaknya Negara Thailand dengan produk-produk mereka yang dilabeli brand Thailand atau Bangkok seperti Ayam Bangkok atau Jeruk Thailand di tingkatan global atau semisal masakan Padang, Bubur Manado, atau Sate Madura di tingkatan nasional.
Dengan adanya brand tersebut, orang akan mudah mengenali Bolu Pangkep, tanpa memunafikkan kelezatan dan kenikmatan hidangan Sup Saudara Pangkep.
Global Pangkep Fish
Jika di tataran lokal, orang dapat mencicipi Bolu Pangkep dalam suguhan Sup Saudara Pangkep, tak mustahil bila Bolu Pangkep suatu saat dapat ditemui di restoran-restoran Jakarta, Bandung, Medan, atau di Singapura, Kuala Lumpur, Manila, Sydney hingga menjangkau Tokyo dan Beijing.
Asalkan pemerintah daerah setempat dan pelaku usaha seperti HIPMI dapat bersinergi mengglobalkan produk ini melalui pengembangan usaha Tambak Inti Rakyat dalam hal produksi, pemasaran melalui promosi Pemda dan distribusi oleh pengusaha dan pelaku usaha masakan dari Pangkep.
Sejalan dengan perkembangan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai bagian dari globalisasi, maka tak menutup kemungkinan hal ini dapat menjadi nyata.
Penggunaan akses internet sebagai media promosi global, tersedianya sumber daya manusia melalui usaha dan kreativitas HIPMI Pangkep dalam pemasaran, keuletan tangan terampil pemudi Pangkep dalam meracik dan menyuguhkan hidangan Sup Saudara Pangkep untuk lebih dikembangkan tidak hanya di regional Sulawesi Selatan saja, tapi bisa merambah daerah-daerah lain di Indonesia.
Semoga, pelaksanakan Pemilukada di Pangkep dan hasil Musda HIPMI daerah Sulsel dapat merealisasikan hal ini sehingga Bolu Pangkep dapat menjadi komoditi andalan daerah, meningkatkan kemakmuran warga Pangkep dan menambah devisa daerah dalam membangun kesejahteraan Rakyat Pangkajene dan Kepulauan.
Selasa, 30 Maret 2010
TREN INDUSTRI SEPAKBOLA DI EROPA
Dalam satu dasawarsa terakhir ini, daratan Eropa tidak lagi disibukkan dengan perang yang bergejolak yang berlatar belakang ekonomi, persaingan wilayah, ideologi, agama, hingga politik. Bangsa Eropa tidak lagi terpecah-pecah, sibuk mengangkat senjata, mengembangkan industri persenjataan, saling beradu strategi untuk menyerang dan mengalahkan musuh, hingga pada pentasbihan diri sebagai jawara atau Negara yang terkuat atau bangsa yang terunggul di seantero Eropa. Akan tetapi, daratan Eropa kini telah menjelma menjadi sentrum industri baru berbasis keterampilan, ketangkasan dan semangat juang yang membara untuk menjadi pemenang tanpa memegang senjata. Ya, itulah tren baru di Eropa; Industri Sepakbola.
Liga-liga Eropa sangat mengesankan. Menghadirkan pemain dan pelatih yang professional, menyuguhkan permainan yang memukau, menampilkan stadion dan segala kemewahan peralatan yang lengkap, manajemen yang terampil, dan promosi yang gencar serta meleburkan perbedaan ras, negara dan warna kulit. Ia kebanjiran iklan dan disuplai dana yang melimpah. Sebuah permainan yang seantero dunia dapat menyaksikannya. Lihat saja, Liga-liga Eropa dari musim ke musim, klub-klub sepakbola Eropa berlomba dan saling berebut pemain untuk menghadirkan permainan yang berkualitas dan mengejar impian berlabuh diajang bergengsi; Liga Champions Eropa.
Di awal-awal musim kompetisi, jangan heran bila pergantian, transfer, hingga pembelian pemain dan pelatih menjadi marak diperbincangkan, penuh teka-teki, menegangkan dan sekaligus menjadi ajang unjuk kekuatan finansial klub. Tidak hanya itu, renovasi bahkan pembangunan baru stadion sebagai markas klub tak luput dari pengamatan. Inilah tren sepakbola di Eropa, tidak lagi sekadar permainan olahraga. Klub sepakbola di Eropa lebih pas dilihat sebagai entitas bisnis, ketimbang olahraga. Uang yang berputar di sana, membuat ngiler. Sebuah permainan telah berubah menjadi industri.
Industri Sepakbola
Sepakbola kini bukan lagi sekadar olahraga atau permainan. Ia telah menjadi komoditas yang tidak berbeda dengan produk lain yang beredar dalam sistem pasar. Ia telah menjadi industri. Liga Champions Eropa 2010 misalnya, pertandingan sepak bola di kalangan klub-klub jawara yang mewakili Negara mereka yang tengah berlangsung dan akan memasuki babak perdelapan final, hingga akhir bulan April, bukan pengecualian dari premis ini.
Dalam event yang berlangsung setiap tahun itu, ada mekanisme yang mempertemukan hukum permintaan dan penawaran. Di sana ada tim, pemain, pelatih, dan penyelenggara sebagai pemasok. Di sana ada pula pemirsa yang membeli permainan, tontonan, drama, dan hiburan sebagai komoditas. Dari waktu ke waktu, pertandingan sepakbola, apalagi yang bertaraf internasional seperti Liga Champions, bukan lagi semata arena pertandingan yang mengadu ketangguhan, kekuatan, dan kecerdasan tim wakil sebuah negara. Yang lebih menonjol adalah penguatan hukum pasar yang berkembang sedemikian rupa menjadi industri.
Liga-liga sepakbola Eropa selalu menjadi daya tarik bagi pesepakbola dari berbagai belahan dunia, karena menjanjikan kebesaran nama dan tentunya penghasilan yang bisa melimpah ruah. Seorang bintang bahkan dapat mencapai nilai transfer trilyunan rupiah. Ya, sepakbola telah menjadi sebuah industri hiburan dan menempatkan para pemain bintang menjadi selebritis. Keberhasilan Eropa membuat sepakbola menjadi ladang uang mengubah wajah cabang olahraga ini di seluruh dunia.
Untuk memenuhi unsur hiburan tadi, talenta terbaik dari berbagai belahan dunia pun “diperjual belikan” di bursa transfer internasional. Tentu saja, kelas pertama adalah Eropa, sehingga tidak mengherankan bila pemain sepakbola terbaik dunia selalu berasal dari salah satu kesebelasan di Eropa. Tidak mengherankan, kesebelasan besar seperti Real Madrid, Barcelona, Manchester United, Chelsea, Arsenal, dan kesebelasan besar lainnya dipenuhi bintang dari berbagai negara. Atas nama profesionalisme dan industri hiburan, tidak ada aturan yang jelas tentang komposisi pemain lokal dan impor yang boleh dimainkan dalam sebuah pertandingan.
Prestasi dan Prestise
Sepak bola di Eropa adalah aktivitas manusia yang telah menjadi salah satu ukuran peradaban. Semakin maju prestasi sebuah tim dalam sebuah kompetisi, semakin tinggi penghargaan yang diperoleh tim tersebut. Pemain-pemain profesional yang berkualitas menjadi incaran dalam bursa bernilai triliunan rupiah. Di sana, ada pula bursa pelatih, dan bursa penyelenggaraan yang lantas berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan.
Akhir Februari lalu, Tabloid BOLA mengumumkan nilai skuad klub di Eropa. Barcelona menempati urutan pertama dengan nilai skuad 514 juta Euro, disusul Real Madrid 473,5 juta Euro. Lalu Chelsea (436,25), Inter Milan (394,35), Manchester United (375,5), dan Bayern Muenchen (238,5) semua dalam jutaan Euro. Tentu saja, perangkingan ini tidak terlepas dari prestasi klub tersebut dari pertandingan ke pertandingan, serta didukung manajemen dan daya finansial mereka. Keenam klub ini adalah klub-klub papan atas penguasa Liga domestik dan langganan Liga Champions Eropa, yang menjadi incaran utama para pemain sepakbola dunia.
Karena itu, adalah jamak bila sepakbola kemudian menjadi pusat impian dan harapan bagi anak-anak muda dunia untuk meningkatkan kelas sosial mereka. Dari kelas pekerja menjadi kelas pemodal. Dari kelas pesuruh menjadi kelas pengatur. Dan hasilnya adalah bertaburannya orang-orang terkaya dalam usia sangat muda. Wayne Rooney, Lionel Messi dan Christiano Ronaldo adalah generasi orang-orang muda terkaya yang lahir dari kebudayaan populer itu. Sebagai hero, pamor, dan kekayaan mereka tidak kalah dari para bintang di pusat industri film Amerika, Hollywood. Juga tidak mencengangkan bila gaji mereka jauh lebih tinggi daripada gaji seorang Perdana Menteri Inggris.
Event seperti Liga Inggris (Premier League), Liga Spanyol (La Liga), Liga Italia Serie A) dan Liga Jerman (Bundesliga) dari waktu ke waktu pada akhirnya hanyalah tapal batas dari fenomena yang semakin lama semakin menjadi magnet dan penggerak. Magnet dari pusat kebudayaan dunia dan penggerak bagi pertumbuhan roda ekonomi. Ia adalah bagian tidak terpisahkan dari daya tarik kapitalisme global yang tidak terelakkan.
Begitulah industri bernama sepakbola. Ia bisa beromzet triliunan rupiah. Tiap transaksi tak hanya menghasilkan keuntungan pribadi pemain dan agennya, tapi juga keuntungan bagi klub, Negara dimana ia harus membayar pajak penghasilannya, media massa, dan para sponsor yang terlibat di dalamnya. Serta, tentu saja, seorang bintang sepakbola bisa memberikan benefit berupa hiburan yang sehat bagi masyakat penonton bola di seluruh penjuru dunia.
Padahal, sepakbola pada mulanya adalah sebuah tradisi tendang menendang bola yang dimainkan oleh sekelompok penduduk yang bermukim di Eropa. Kini tak begitu penting, bukan? memperdebatkan darimana asalnya sepakbola? Meskipun Inggris mengklaim negeri mereka sebagai tanah kelahiran sepakbola modern: "kampung halaman sepakbola". Dalam sistem masyarakat industri saat ini, pertanyaan yang paling dominan soal sepakbola, adalah di negeri mana sepakbola menghasilkan keuntungan terbesar?
Selasa, 23 Maret 2010
ANCAMAN KRISIS AIR DI DEPAN MATA
ANCAMAN KRISIS AIR DI DEPAN MATA
Muchtar Bijar Zamzamy
Dunia saat ini sedang dilanda kelangkaan air. Sumber-sumber air utamanya untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian secara kuantitas semakin menyusut, bahkan mengering dan secara kualitas semakin jauh dari kesehatan. Umat manusia telah mencemari, mengubah arah, dan menghabiskan mata air kehidupan dengan kecepatan yang mencengangkan. Dari hari ke hari, kebutuhan manusia akan air terus berkembang melampaui ketersediaannya. Akibatnya, lebih dari ratusan juta orang terancam kekurangan air. Krisis global air kini menjadi ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup manusia dan planet Bumi.
Saat ini, krisis air menjadi isu besar dalam forum internasional. Dalam Forum Air se-Dunia yang dilaksanakan di Istambul, Turki 16-22 Maret 2009 lalu, sejumlah pejabat dari berbagai negara, termasuk para kepala daerah dan para ahli berkumpul untuk mencari terobosan perbaikan pengelolaan air dunia. Kegiatan ini diselenggarakan sebagai rangkaian memperingati Hari Air se-Dunia (World Water Day) yang jatuh pada tanggal 22 Maret. Dalam forum tersebut, PBB menerbitkan sebuah dokumen tentang permasalahan air, kependudukan dan perubahan iklim. Sebuah laporan PBB setebal 348 halaman memberikan gambaran yang suram tentang kondisi lingkungan khususnya ketersediaan air pada 2050, dimana negara-negara berkembang akan menghadapi masalah yang sangat mengkhawatirkan. Berbagai krisis yang saat ini melanda, menambah beban negara-negara berkembang menjadi semakin sengsara.
Adanya laporan PBB tersebut, setidaknya menjadi lampu kuning agar masyarakat dunia, termasuk Indonesia melakukan langkah antisipatif terjadinya krisis air. Tak menutup kemungkinan, Indonesia termasuk salah satu negara berkembang yang diprediksikan PBB tersebut. Dalam Forum Air Dunia II di Den Haag, Belanda, Maret 2000 lalu saja, Indonesia sudah diprediksikan termasuk salah satu negara yang akan mengalami krisis air pada 2025.
Faktor Krisis Air
Indonesia akan mengalami krisis air. Padahal Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kawasan hutan tropika basah terbesar kedua di dunia setelah Brazil dan memiliki cadangan air terbesar kelima di dunia setelah Brazil, Kanada, Rusia dan China. Namun hal tersebut bukan sesuatu hal yang tak beralasan. Hal ini dapat dibenarkan dengan melihat data-data dan kondisi realitas di lapangan.
Pertama, Pertumbuhan penduduk Indonesia adalah salah satu faktor yang sangat mengkhawatirkan. Pertumbuhan penduduk yang tinggi memberikan tekanan yang sangat besar pada sumber-sumber air. Pada waktu penduduk Indonesia masih 100 juta jiwa, air bukanlah merupakan komoditi ekonomi, tapi begitu mencapai 200–300 juta jiwa ada kelangkaan air, air menjadi komoditi ekonomi. Kondisi ini dapat kita temui di pulau Jawa. Di pulau Jawa, penduduknya mencapai 65% dari total penduduk Indonesia, hanya tersedia 4,5% potensi air tawar nasional. Faktanya, jumlah ketersediaan air di pulau Jawa yang mencapai 30.569,2 juta meter kubik per tahun tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air bagi seluruh penduduknya. Artinya, di pulau yang terpadat penduduknya itu selalu mengalami defisit paling tidak hingga 2015. Bisa dibayangkan, suatu saat, penduduk Jawa tidak hanya dilanda kehausan tapi juga berimbas pada kelaparan hingga kematian.
Kedua, Krisis air semakin diperparah oleh pemanasan global. Seperti dikemukakan salah satu anggota IPCC Edmundo de Alba, bahwa pemanasan global akan menyebabkan ketimpangan kondisi alam. Dengan meningkatnya suhu udara akan memicu kondisi ekstrem yaitu akan ada wilayah yang kering menjadi bertambah kering dan sebaliknya wilayah basah akan bertambah basah. Indonesia memiliki potensi air yang besar karena Indonesia merupakan negara kepulauan dan masuk dalam wilayah tropika basah. Namun demikian, Indonesia dihadapkan pada tantangan yaitu kacaunya pola cuaca akibat pemanasan global. Pola cuaca yang tak menentu menyebabkan beberapa daerah di Indonesia mengalami kekeringan.
Ketiga, Rusaknya hutan-hutan Indonesia sebagai daerah penyerapan air, penyuplai air dan sumber mata air juga turut andil dalam permasalahan ini. Greenpeace mencatat, setiap jam Indonesia menghancurkan luas hutan yang setara dengan 300 lapangan sepak bola. Sebanyak 72% dari hutan asli Indonesia telah musnah dan setengah dari yang tersisa masih terancam kebakaran, dan penebangan komersial. Di samping itu, melalui program transmigrasi di zaman Orde Baru menyebabkan dibukanya areal hutan untuk pemukiman secara besar-besaran, pengalihan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit di Sumatera, perluasan pemukiman kota di Jawa, serta pariwisata dan industri ikut berperan dalam mengurangi wilayah resapan dan penyangga air serta fungsi hutan. Tak dapat dipungkiri, suatu saat nanti, hutan-hutan Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Papua akan berubah menjadi Gurun Sahara berikutnya.
Keempat, Kerusakan dan pencemaran sumber-sumber air tawar yang menjadi penyuplai sebagian besar kebutuhan air untuk rumah tangga dan pertanian. Di Indonesia, diperkirakan, 60% sungainya, terutama di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi, tercemar berbagai limbah, mulai dari bahan organik hingga bakteri coliform dan fecal coli penyebab diare. Selain itu, berdasarkan catatan Walhi, sebanyak 64 dari total 470 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Indonesia saat ini dalam kondisi yang kritis. Kerusakan ini cukup merata dan tersebar di seluruh Kepulauan Nusantara, sehingga mengakibatkan penurunan nilai daya tampung air dan fungsinya sebagai daerah tangkapan dan resapan air, yang bila dibiarkan bisa berdampak pada pemunculan fenomena-fenomena sungai-sungai mengering dan merosotnya debit air danau.
Selain keempat hal tersebut, juga turut dipengaruhi oleh tingkat kepedulian masyarakat yang rendah terhadap kelestarian lingkungan dan sumber air, buruknya pengelolaan dan pemanfaatan air, serta tidak efektifnya peraturan-peraturan dan kebijakan pemerintah terkait masalah air mendorong memburuknya kondisi sumber daya air.
Ancaman Krisis Air
Kelangkaan air yang terjadi akhir-akhir ini telah muncul di beberapa daerah tertentu khususnya di pulau Jawa, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, hanya merupakan sebagian kecil potret daerah yang mengalami krisis air di waktu tertentu. Kelangkaan pasokan air merupakan salah satu bagian kecil masalah dalam kehidupan manusia, namun kelangkaan pasokan air sebenarnya menimbulkan ancaman yang sangat serius di masa sekarang dan untuk kedepannya, betapapun tidak, kelangkaan pasokan air bisa berujung pada ancaman krisis air.
Krisis air tidak berbeda jauh dengan krisis ekonomi ataupun krisis finansial sama-sama akan menimbulkan kesengsaraaan yang tidak hanya menyangkut bidang tersebut namun juga mempengaruhi bidang kehidupan lainnya. Krisis air akan mengakibatkan banyak hal yang cukup nyata seperti gagal panen yang berujung pada kemiskinan dan kelaparan, kerusakan ekosistem dan ekologi, krisis energi, meningkatnya angka kematian dan tak menutup kemungkinan akan menyebabkan polemik politik ketika masalah ini telah menjadi rumit.
Akumulasi dari kondisi di atas, setidaknya telah memberi indikasi ancaman kelangkaan air di Indonesia. Kondisi ini tentunya perlu mendapat perhatian serius oleh bangsa Indonesia, baik oleh individu, masyarakat, lembaga pemerhati lingkungan, dan utamanya pemerintah Indonesia, sebab krisis air di negara yang merupakan negara terbesar ke-5 yang memiliki persediaan air yang mencukupi ternyata tengah mengancam keberlangsungan hidup masyarakatnya.*
Muchtar Bijar Zamzamy
Dunia saat ini sedang dilanda kelangkaan air. Sumber-sumber air utamanya untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian secara kuantitas semakin menyusut, bahkan mengering dan secara kualitas semakin jauh dari kesehatan. Umat manusia telah mencemari, mengubah arah, dan menghabiskan mata air kehidupan dengan kecepatan yang mencengangkan. Dari hari ke hari, kebutuhan manusia akan air terus berkembang melampaui ketersediaannya. Akibatnya, lebih dari ratusan juta orang terancam kekurangan air. Krisis global air kini menjadi ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup manusia dan planet Bumi.
Saat ini, krisis air menjadi isu besar dalam forum internasional. Dalam Forum Air se-Dunia yang dilaksanakan di Istambul, Turki 16-22 Maret 2009 lalu, sejumlah pejabat dari berbagai negara, termasuk para kepala daerah dan para ahli berkumpul untuk mencari terobosan perbaikan pengelolaan air dunia. Kegiatan ini diselenggarakan sebagai rangkaian memperingati Hari Air se-Dunia (World Water Day) yang jatuh pada tanggal 22 Maret. Dalam forum tersebut, PBB menerbitkan sebuah dokumen tentang permasalahan air, kependudukan dan perubahan iklim. Sebuah laporan PBB setebal 348 halaman memberikan gambaran yang suram tentang kondisi lingkungan khususnya ketersediaan air pada 2050, dimana negara-negara berkembang akan menghadapi masalah yang sangat mengkhawatirkan. Berbagai krisis yang saat ini melanda, menambah beban negara-negara berkembang menjadi semakin sengsara.
Adanya laporan PBB tersebut, setidaknya menjadi lampu kuning agar masyarakat dunia, termasuk Indonesia melakukan langkah antisipatif terjadinya krisis air. Tak menutup kemungkinan, Indonesia termasuk salah satu negara berkembang yang diprediksikan PBB tersebut. Dalam Forum Air Dunia II di Den Haag, Belanda, Maret 2000 lalu saja, Indonesia sudah diprediksikan termasuk salah satu negara yang akan mengalami krisis air pada 2025.
Faktor Krisis Air
Indonesia akan mengalami krisis air. Padahal Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kawasan hutan tropika basah terbesar kedua di dunia setelah Brazil dan memiliki cadangan air terbesar kelima di dunia setelah Brazil, Kanada, Rusia dan China. Namun hal tersebut bukan sesuatu hal yang tak beralasan. Hal ini dapat dibenarkan dengan melihat data-data dan kondisi realitas di lapangan.
Pertama, Pertumbuhan penduduk Indonesia adalah salah satu faktor yang sangat mengkhawatirkan. Pertumbuhan penduduk yang tinggi memberikan tekanan yang sangat besar pada sumber-sumber air. Pada waktu penduduk Indonesia masih 100 juta jiwa, air bukanlah merupakan komoditi ekonomi, tapi begitu mencapai 200–300 juta jiwa ada kelangkaan air, air menjadi komoditi ekonomi. Kondisi ini dapat kita temui di pulau Jawa. Di pulau Jawa, penduduknya mencapai 65% dari total penduduk Indonesia, hanya tersedia 4,5% potensi air tawar nasional. Faktanya, jumlah ketersediaan air di pulau Jawa yang mencapai 30.569,2 juta meter kubik per tahun tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air bagi seluruh penduduknya. Artinya, di pulau yang terpadat penduduknya itu selalu mengalami defisit paling tidak hingga 2015. Bisa dibayangkan, suatu saat, penduduk Jawa tidak hanya dilanda kehausan tapi juga berimbas pada kelaparan hingga kematian.
Kedua, Krisis air semakin diperparah oleh pemanasan global. Seperti dikemukakan salah satu anggota IPCC Edmundo de Alba, bahwa pemanasan global akan menyebabkan ketimpangan kondisi alam. Dengan meningkatnya suhu udara akan memicu kondisi ekstrem yaitu akan ada wilayah yang kering menjadi bertambah kering dan sebaliknya wilayah basah akan bertambah basah. Indonesia memiliki potensi air yang besar karena Indonesia merupakan negara kepulauan dan masuk dalam wilayah tropika basah. Namun demikian, Indonesia dihadapkan pada tantangan yaitu kacaunya pola cuaca akibat pemanasan global. Pola cuaca yang tak menentu menyebabkan beberapa daerah di Indonesia mengalami kekeringan.
Ketiga, Rusaknya hutan-hutan Indonesia sebagai daerah penyerapan air, penyuplai air dan sumber mata air juga turut andil dalam permasalahan ini. Greenpeace mencatat, setiap jam Indonesia menghancurkan luas hutan yang setara dengan 300 lapangan sepak bola. Sebanyak 72% dari hutan asli Indonesia telah musnah dan setengah dari yang tersisa masih terancam kebakaran, dan penebangan komersial. Di samping itu, melalui program transmigrasi di zaman Orde Baru menyebabkan dibukanya areal hutan untuk pemukiman secara besar-besaran, pengalihan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit di Sumatera, perluasan pemukiman kota di Jawa, serta pariwisata dan industri ikut berperan dalam mengurangi wilayah resapan dan penyangga air serta fungsi hutan. Tak dapat dipungkiri, suatu saat nanti, hutan-hutan Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Papua akan berubah menjadi Gurun Sahara berikutnya.
Keempat, Kerusakan dan pencemaran sumber-sumber air tawar yang menjadi penyuplai sebagian besar kebutuhan air untuk rumah tangga dan pertanian. Di Indonesia, diperkirakan, 60% sungainya, terutama di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi, tercemar berbagai limbah, mulai dari bahan organik hingga bakteri coliform dan fecal coli penyebab diare. Selain itu, berdasarkan catatan Walhi, sebanyak 64 dari total 470 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Indonesia saat ini dalam kondisi yang kritis. Kerusakan ini cukup merata dan tersebar di seluruh Kepulauan Nusantara, sehingga mengakibatkan penurunan nilai daya tampung air dan fungsinya sebagai daerah tangkapan dan resapan air, yang bila dibiarkan bisa berdampak pada pemunculan fenomena-fenomena sungai-sungai mengering dan merosotnya debit air danau.
Selain keempat hal tersebut, juga turut dipengaruhi oleh tingkat kepedulian masyarakat yang rendah terhadap kelestarian lingkungan dan sumber air, buruknya pengelolaan dan pemanfaatan air, serta tidak efektifnya peraturan-peraturan dan kebijakan pemerintah terkait masalah air mendorong memburuknya kondisi sumber daya air.
Ancaman Krisis Air
Kelangkaan air yang terjadi akhir-akhir ini telah muncul di beberapa daerah tertentu khususnya di pulau Jawa, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, hanya merupakan sebagian kecil potret daerah yang mengalami krisis air di waktu tertentu. Kelangkaan pasokan air merupakan salah satu bagian kecil masalah dalam kehidupan manusia, namun kelangkaan pasokan air sebenarnya menimbulkan ancaman yang sangat serius di masa sekarang dan untuk kedepannya, betapapun tidak, kelangkaan pasokan air bisa berujung pada ancaman krisis air.
Krisis air tidak berbeda jauh dengan krisis ekonomi ataupun krisis finansial sama-sama akan menimbulkan kesengsaraaan yang tidak hanya menyangkut bidang tersebut namun juga mempengaruhi bidang kehidupan lainnya. Krisis air akan mengakibatkan banyak hal yang cukup nyata seperti gagal panen yang berujung pada kemiskinan dan kelaparan, kerusakan ekosistem dan ekologi, krisis energi, meningkatnya angka kematian dan tak menutup kemungkinan akan menyebabkan polemik politik ketika masalah ini telah menjadi rumit.
Akumulasi dari kondisi di atas, setidaknya telah memberi indikasi ancaman kelangkaan air di Indonesia. Kondisi ini tentunya perlu mendapat perhatian serius oleh bangsa Indonesia, baik oleh individu, masyarakat, lembaga pemerhati lingkungan, dan utamanya pemerintah Indonesia, sebab krisis air di negara yang merupakan negara terbesar ke-5 yang memiliki persediaan air yang mencukupi ternyata tengah mengancam keberlangsungan hidup masyarakatnya.*
Langganan:
Postingan (Atom)