MuchtarMuin Mallarani
RINDU NEGERI BARU
(Nafas Politik Dari Timur-Tengah Nusantara)
Oktober 1999.
Di ruang keluarga, sehabis shalat maghrib dan makan malam, kami berkumpul. Tiba-tiba, saya terperanjat. “Alamak…. Ya Allah…. Muhammadarrasulullah…” (Kata seru yang sering diucapkan masyarakat Makassar sebagai bentuk spontanitas keheranan). Spontan, semua anggota keluarga menoleh ke arahku yang sementara menonton televisi. Betapa tidak, dari layar kaca bergerak itu, aku menyaksikan ribuan orang tumpah ruah di jalanan kota sambil melakukan makar melumpuhkan kota. Mereka meneriakkan kata “Merdeka” sambil mengibarkan bendera orange berlambang Pulau Sulawesi di tengah-tengah. Gegap-gempita terdengar yel-yel “Sulawesi Merdeka”. Peristiwa ini masih terangkum jelas di memoriku saat itu hingga kini. Hingga keesokan harinya sebagai wujud simpati, aku menggambar bendera orange yang baru kulihat di televisi itu dengan lancarnya dan membawanya ke sekolah. Waktu itu, aku sementara duduk di bangku kelas 6 SD.
Aksi masyarakat Sulawesi Selatan yang terjadi di Kotamadya Ujung Pandang, kala itu kalau tak salah merupakan buntut dari kekecewaan masyarakat Bugis-Makassar terhadap penolakan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Presiden Habibie dan kekalahannya dalam pemilihan presiden RI oleh MPR.
Untung saja, tokoh masyarakat setempat (Bugis-Makassar) masih berlapang dada dan dewasa dalam menghargai dinamika politik kebangsaan, sehingga aksi makar menuntut pemisahan atau disintegrasi bangsa beraroma politik itu dapat dipadamkan dengan baik. Sudah menjadi siri maka mereka membela rasa malu. Karena bagi masyarakat Bugis-Makassar, menjadi siri atau aib bila tak mampu menjalankan amanah yang diembannya. Di mata orang Bugis-Makassar, harta kekayaan dapat dibeli tetapi harga diri dan siri adalah pemberian Tuhan yang tidak diperjualbelikan di manapun. Sekali harga diri dan siri itu hilang, tak ada gunanya untuk hidup lagi.
Puncaknya, sebagai bentuk menumbuhkan patriotisme kebangsaan dan untuk membangkitkan semangat perjuangan “siri na pacce” oleh Bapak BJ. Habibie beserta tokoh-tokoh masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) maka tepat tanggal 13 Oktober 1999 nama Ujung Pandang yang telah dipakai semenjak 1971 diganti dengan nama yang sarat nilai historis itu, “Makassar” akhirnya resmi digunakan kembali.
Menengok Kembali Perjuangan Leluhur
Aksi menuntut pemisahan diri dan upaya mendirikan Negara sendiri bukanlah hal yang asing bagi masyarakat Sulsel, jauh sebelum Oktober kelabu itu, masyarakat Bugis-Makassar pernah mengalaminya. Dari bangku SD, SMP, hingga SMA, pelajaran Sejarah selalu saya dan bahkan semua mendapatkan pelajaran tentang aksi-aksi pemberontakan di tanah air. Sebutlah pemberontakan Andi Azis dan upaya mendirikan Negara Islam oleh Kahar Mudzakkar melalui baju DI/TII di Sulawesi Selatan. Aroma pemberontakan terhadap NKRI ini bila ditelusuri memiliki muatan politis yang sarat dengan aroma kekecewaan dan sekali lagi, siri.
Pemberontakan Kapten Andi Azis ini terjadi pada tanggal 5 April 1950. Pemberontakan ini terjadi manakala kesatuan-kesatuan bekas KNIL di bawah pimpinan Kapten Andi Azis berontak menentang kedatangan pasukan APRIS dari unsur TNI yang dikirim dari Jawa. Hingga akhirnya, ia termakan pengaruh dari Dr. Soumokil, pemimpin RMS untuk menyatakan dirinya lepas dari NIT maupun RIS.
Berselang satu tahun, kembali meletus pemberontakan Kahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan. Ia memasukkan kesatuan-kesatuan laskar tentara di bawah pengaruhnya bergabung dengan DI/TII pimpinan SM. Kartosuwiryo di Jabar dan berusaha mendirikan Negara Islam di Sulawesi Selatan.
Dari kedua usaha pemberontakan dalam rangka mendirikan Negara Baru ini dapat saya simpulkan sarat dengan muatan politis beraroma siri, karena tak dapat dipungkiri, orang Bugis-Makassar hidup demi siri.
Lihatlah Kami Sekarang!
Tampilnya BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden RI dan menjadi Presiden RI ketiga menggantikan Soeharto yang meletakkan jabatan Presiden pada tanggal 21 Mei 1998 hingga Oktober 1999, praktis membuka pintu bagi Putra Sulsel menduduki jabatan strategis kenegaraan. Pameo yang menyatakan bahwa Kabinet Reformasi Pembangunan sarat dengan aroma SDM (Semua Dari Makassar) sering diplesetkan banyak orang. Tapi, setidaknya, menurut hemat saya, strategi itu justru menjadi awal melambungnya nama Sulsel di tingkatan nasional. Inilah momentum kebangkitan masyarakat Sulsel yang telah lama tenggelam pasca Perjanjian Bongayya yang mengakibatkan masyarakat Bugis-Makassar kala itu memilih berdiaspora dengan modal Perahu Phinisinya yang lincah mengarungi samudera ke berbagai belahan Nusantara bahkan Dunia.
Di penghujung abad ke-20 dan memasuki awal abad ke-21, tokoh-tokoh Sulsel di tingkatan nasional mulai bermunculan. Mulai dari pimpinan partai politik (parpol), lembaga tinggi Negara, militer, akademisi, atlet, pengusaha, hingga jajaran menteri, utamanya bidang hukum dan kehakiman, mulai dari Andi M. Ghalib, Baharuddin Lopa, Hamid Awaluddin hingga Andi Mattalatta. Sederet nama-nama pimpinan parpol seperti AM. Fatwa, Sophan Sophiaan, Alwi Shihab, Ryass Rasyid, hingga Jusuf Kalla turut mewarnai dinamika politik tanah air.
Lihatlah Kami sekarang! Setidaknya, itulah ungkapan masyarakat Sulsel kekinian. Tidak hanya sumber daya manusianya yang cakap dan unjuk gigi dalam posisi dan jabatan kenegaraan, tetapi pembangunan infrastruktur dan sarana vital lainnya turut diperhatikan. Cobalah jalan-jalan ke tanah Sulsel, tengoklah Kota Makassar, anda akan terkesima melihat kemajuan daerah Sulsel dalam satu dekade terakhir yang sangat membanggakan. Anda akan dimanja dengan kemegahan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta kelas satu, pusat-pusat perbelanjaan, pusat permainan, rekreasi dan hiburan keluarga berkelas dunia, kenyamanan jalan, dan berkembangnya sarana pendidikan berkelas di Kota Anging Mammiri ini.
Tak hanya orang Sulsel yang berhasil tampil dalam panggung politik nasional. Di Negeri Jiran, putra Sulsel hasil diaspora pasca Perjanjian Bongayya, turut mengharumkan nama Bugis-Makassar. Adalah Tun Najib Bin Tun Abdul Razak, putra dari Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak sukses melanjutkan karir politik ayahnya sebagai Perdana Menteri Malaysia masa sekarang yang adalah asli keturunan Raja Gowa.
Merindu Hari Esok
Saya pun kagum dan bangga atas torehan prestasi para tokoh dan leluhur kami. Satu yang saya khawatirkan ialah bila suatu saat, mereka merindukan tanah leluhur mereka mencapai kejayaan dengan kemandirian sejati dan pantang dipandang daerahnya sebelah mata, apalagi dianggap remeh dan mengganggu siri mereka. Merindu hari esok dengan mengusung panji kebesaran Bugis-Makassar, penguasa dan penjelajah samudera yang disegani di Nusantara. Akankah mereka kembali dari hasil berdiaspora leluhur mereka dan anak-cucunya merindukan tanah leluhurnya?
Terngiang dalam benak saya, akankah nafas politik Bugis-Makassar akan menyamai dan melakukan hal yang sama dengan Kaum Yahudi yang kembali setelah lama berdiaspora dan merindu akan negeri sendiri, negeri leluhur mereka: Israel. Bugis-Makassar telah berdiaspora di belahan dunia. Saya telah banyak membaca manuskrip tentangnya dan menemukan beberapa lokasi atau tempat pemukiman mereka: Johor, Selangor dan Malaka; Malaysia, Maccassar Cape; Afrika Selatan, Bugis Street; Singapura, Sabah dan menguasai Utara Kaltim, dan di mana ada pelabuhan dan sepanjang pantai di Kepulauan Nusantara, kita dapat dengan mudah mengenalinya: Perahu Phinisi. Kini, untuk mempererat hubungan darah tersebut, dibentuklah PSBM (Persaudaraan Saudagar Bugis-Makassar) yang intens melakukan pertemuan tahunan di Kota Makassar. Ini bisa saja menjadi potensi disintegrasi kesatuan Republik manakala suatu saat, karena siri, mereka meretas jalan untuk pisah dan mendirikan Negara Bugis-Makassar. Wallahu a’lam.
Bila ditelusur dari lembaran sejarah, Bugis-Makassar sangat dikenal dalam pergulatan politik Nusantara zaman Kolonial, baik Portugis, Hindia Belanda, hingga Jepang. Makassar sejak zaman kerajaan dikenal sebagai Bandar niaga tersibuk dan jalur dagang terpenting di dunia, hingga tak salah bila sejak zaman Hindia Belanda sampai Jepang, Kota Makassar menjadi langganan ibukota pemerintahan dan administrasi di Timur Nusantara.
Tak dapat dipungkiri, orang Sulsel pada umumnya dikenal sangat temperamen. Hal ini memang karakter yang sangat sukar dihilangkan dalam kehidupan masyarakat Sulsel utamanya di kalangan Bugis-Makassar. Bercermin dari pemberontakan Kapten Andi Azis dan Kahar Mudzakkar hingga peristiwa Oktober kelabu 1999 bila ditelisik akar persoalannya akan bermuara sama, yaitu persoalan harga diri dan siri.
Semoga hal itu hanya menjadi halusinasi penulis dalam memaknai dan mencoba menerawang masa depan tanah leluhur: Bugis-Makassar dalam dinamika politik kebangsaan. Rindu akan Negara Baru memang ada, namun apa yang saya tuliskan adalah bagian kecil dari realitas nafas politik masyarakat dari Timur-Tengah Nusantara.
RINDU NEGERI BARU
(Nafas Politik Dari Timur-Tengah Nusantara)
Oktober 1999.
Di ruang keluarga, sehabis shalat maghrib dan makan malam, kami berkumpul. Tiba-tiba, saya terperanjat. “Alamak…. Ya Allah…. Muhammadarrasulullah…” (Kata seru yang sering diucapkan masyarakat Makassar sebagai bentuk spontanitas keheranan). Spontan, semua anggota keluarga menoleh ke arahku yang sementara menonton televisi. Betapa tidak, dari layar kaca bergerak itu, aku menyaksikan ribuan orang tumpah ruah di jalanan kota sambil melakukan makar melumpuhkan kota. Mereka meneriakkan kata “Merdeka” sambil mengibarkan bendera orange berlambang Pulau Sulawesi di tengah-tengah. Gegap-gempita terdengar yel-yel “Sulawesi Merdeka”. Peristiwa ini masih terangkum jelas di memoriku saat itu hingga kini. Hingga keesokan harinya sebagai wujud simpati, aku menggambar bendera orange yang baru kulihat di televisi itu dengan lancarnya dan membawanya ke sekolah. Waktu itu, aku sementara duduk di bangku kelas 6 SD.
Aksi masyarakat Sulawesi Selatan yang terjadi di Kotamadya Ujung Pandang, kala itu kalau tak salah merupakan buntut dari kekecewaan masyarakat Bugis-Makassar terhadap penolakan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Presiden Habibie dan kekalahannya dalam pemilihan presiden RI oleh MPR.
Untung saja, tokoh masyarakat setempat (Bugis-Makassar) masih berlapang dada dan dewasa dalam menghargai dinamika politik kebangsaan, sehingga aksi makar menuntut pemisahan atau disintegrasi bangsa beraroma politik itu dapat dipadamkan dengan baik. Sudah menjadi siri maka mereka membela rasa malu. Karena bagi masyarakat Bugis-Makassar, menjadi siri atau aib bila tak mampu menjalankan amanah yang diembannya. Di mata orang Bugis-Makassar, harta kekayaan dapat dibeli tetapi harga diri dan siri adalah pemberian Tuhan yang tidak diperjualbelikan di manapun. Sekali harga diri dan siri itu hilang, tak ada gunanya untuk hidup lagi.
Puncaknya, sebagai bentuk menumbuhkan patriotisme kebangsaan dan untuk membangkitkan semangat perjuangan “siri na pacce” oleh Bapak BJ. Habibie beserta tokoh-tokoh masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) maka tepat tanggal 13 Oktober 1999 nama Ujung Pandang yang telah dipakai semenjak 1971 diganti dengan nama yang sarat nilai historis itu, “Makassar” akhirnya resmi digunakan kembali.
Menengok Kembali Perjuangan Leluhur
Aksi menuntut pemisahan diri dan upaya mendirikan Negara sendiri bukanlah hal yang asing bagi masyarakat Sulsel, jauh sebelum Oktober kelabu itu, masyarakat Bugis-Makassar pernah mengalaminya. Dari bangku SD, SMP, hingga SMA, pelajaran Sejarah selalu saya dan bahkan semua mendapatkan pelajaran tentang aksi-aksi pemberontakan di tanah air. Sebutlah pemberontakan Andi Azis dan upaya mendirikan Negara Islam oleh Kahar Mudzakkar melalui baju DI/TII di Sulawesi Selatan. Aroma pemberontakan terhadap NKRI ini bila ditelusuri memiliki muatan politis yang sarat dengan aroma kekecewaan dan sekali lagi, siri.
Pemberontakan Kapten Andi Azis ini terjadi pada tanggal 5 April 1950. Pemberontakan ini terjadi manakala kesatuan-kesatuan bekas KNIL di bawah pimpinan Kapten Andi Azis berontak menentang kedatangan pasukan APRIS dari unsur TNI yang dikirim dari Jawa. Hingga akhirnya, ia termakan pengaruh dari Dr. Soumokil, pemimpin RMS untuk menyatakan dirinya lepas dari NIT maupun RIS.
Berselang satu tahun, kembali meletus pemberontakan Kahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan. Ia memasukkan kesatuan-kesatuan laskar tentara di bawah pengaruhnya bergabung dengan DI/TII pimpinan SM. Kartosuwiryo di Jabar dan berusaha mendirikan Negara Islam di Sulawesi Selatan.
Dari kedua usaha pemberontakan dalam rangka mendirikan Negara Baru ini dapat saya simpulkan sarat dengan muatan politis beraroma siri, karena tak dapat dipungkiri, orang Bugis-Makassar hidup demi siri.
Lihatlah Kami Sekarang!
Tampilnya BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden RI dan menjadi Presiden RI ketiga menggantikan Soeharto yang meletakkan jabatan Presiden pada tanggal 21 Mei 1998 hingga Oktober 1999, praktis membuka pintu bagi Putra Sulsel menduduki jabatan strategis kenegaraan. Pameo yang menyatakan bahwa Kabinet Reformasi Pembangunan sarat dengan aroma SDM (Semua Dari Makassar) sering diplesetkan banyak orang. Tapi, setidaknya, menurut hemat saya, strategi itu justru menjadi awal melambungnya nama Sulsel di tingkatan nasional. Inilah momentum kebangkitan masyarakat Sulsel yang telah lama tenggelam pasca Perjanjian Bongayya yang mengakibatkan masyarakat Bugis-Makassar kala itu memilih berdiaspora dengan modal Perahu Phinisinya yang lincah mengarungi samudera ke berbagai belahan Nusantara bahkan Dunia.
Di penghujung abad ke-20 dan memasuki awal abad ke-21, tokoh-tokoh Sulsel di tingkatan nasional mulai bermunculan. Mulai dari pimpinan partai politik (parpol), lembaga tinggi Negara, militer, akademisi, atlet, pengusaha, hingga jajaran menteri, utamanya bidang hukum dan kehakiman, mulai dari Andi M. Ghalib, Baharuddin Lopa, Hamid Awaluddin hingga Andi Mattalatta. Sederet nama-nama pimpinan parpol seperti AM. Fatwa, Sophan Sophiaan, Alwi Shihab, Ryass Rasyid, hingga Jusuf Kalla turut mewarnai dinamika politik tanah air.
Lihatlah Kami sekarang! Setidaknya, itulah ungkapan masyarakat Sulsel kekinian. Tidak hanya sumber daya manusianya yang cakap dan unjuk gigi dalam posisi dan jabatan kenegaraan, tetapi pembangunan infrastruktur dan sarana vital lainnya turut diperhatikan. Cobalah jalan-jalan ke tanah Sulsel, tengoklah Kota Makassar, anda akan terkesima melihat kemajuan daerah Sulsel dalam satu dekade terakhir yang sangat membanggakan. Anda akan dimanja dengan kemegahan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta kelas satu, pusat-pusat perbelanjaan, pusat permainan, rekreasi dan hiburan keluarga berkelas dunia, kenyamanan jalan, dan berkembangnya sarana pendidikan berkelas di Kota Anging Mammiri ini.
Tak hanya orang Sulsel yang berhasil tampil dalam panggung politik nasional. Di Negeri Jiran, putra Sulsel hasil diaspora pasca Perjanjian Bongayya, turut mengharumkan nama Bugis-Makassar. Adalah Tun Najib Bin Tun Abdul Razak, putra dari Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak sukses melanjutkan karir politik ayahnya sebagai Perdana Menteri Malaysia masa sekarang yang adalah asli keturunan Raja Gowa.
Merindu Hari Esok
Saya pun kagum dan bangga atas torehan prestasi para tokoh dan leluhur kami. Satu yang saya khawatirkan ialah bila suatu saat, mereka merindukan tanah leluhur mereka mencapai kejayaan dengan kemandirian sejati dan pantang dipandang daerahnya sebelah mata, apalagi dianggap remeh dan mengganggu siri mereka. Merindu hari esok dengan mengusung panji kebesaran Bugis-Makassar, penguasa dan penjelajah samudera yang disegani di Nusantara. Akankah mereka kembali dari hasil berdiaspora leluhur mereka dan anak-cucunya merindukan tanah leluhurnya?
Terngiang dalam benak saya, akankah nafas politik Bugis-Makassar akan menyamai dan melakukan hal yang sama dengan Kaum Yahudi yang kembali setelah lama berdiaspora dan merindu akan negeri sendiri, negeri leluhur mereka: Israel. Bugis-Makassar telah berdiaspora di belahan dunia. Saya telah banyak membaca manuskrip tentangnya dan menemukan beberapa lokasi atau tempat pemukiman mereka: Johor, Selangor dan Malaka; Malaysia, Maccassar Cape; Afrika Selatan, Bugis Street; Singapura, Sabah dan menguasai Utara Kaltim, dan di mana ada pelabuhan dan sepanjang pantai di Kepulauan Nusantara, kita dapat dengan mudah mengenalinya: Perahu Phinisi. Kini, untuk mempererat hubungan darah tersebut, dibentuklah PSBM (Persaudaraan Saudagar Bugis-Makassar) yang intens melakukan pertemuan tahunan di Kota Makassar. Ini bisa saja menjadi potensi disintegrasi kesatuan Republik manakala suatu saat, karena siri, mereka meretas jalan untuk pisah dan mendirikan Negara Bugis-Makassar. Wallahu a’lam.
Bila ditelusur dari lembaran sejarah, Bugis-Makassar sangat dikenal dalam pergulatan politik Nusantara zaman Kolonial, baik Portugis, Hindia Belanda, hingga Jepang. Makassar sejak zaman kerajaan dikenal sebagai Bandar niaga tersibuk dan jalur dagang terpenting di dunia, hingga tak salah bila sejak zaman Hindia Belanda sampai Jepang, Kota Makassar menjadi langganan ibukota pemerintahan dan administrasi di Timur Nusantara.
Tak dapat dipungkiri, orang Sulsel pada umumnya dikenal sangat temperamen. Hal ini memang karakter yang sangat sukar dihilangkan dalam kehidupan masyarakat Sulsel utamanya di kalangan Bugis-Makassar. Bercermin dari pemberontakan Kapten Andi Azis dan Kahar Mudzakkar hingga peristiwa Oktober kelabu 1999 bila ditelisik akar persoalannya akan bermuara sama, yaitu persoalan harga diri dan siri.
Semoga hal itu hanya menjadi halusinasi penulis dalam memaknai dan mencoba menerawang masa depan tanah leluhur: Bugis-Makassar dalam dinamika politik kebangsaan. Rindu akan Negara Baru memang ada, namun apa yang saya tuliskan adalah bagian kecil dari realitas nafas politik masyarakat dari Timur-Tengah Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar