Kamis, 22 Maret 2012

JEJAK SEJARAH INTERAKSI MAKASSAR – ABORIGIN

#Muchtar Muin Mallarani

Menyebut nama Aborigin dan Australia, biasanya kesan pertama yang muncul di pikiran orang awam adalah hubungannya dengan orang-orang putih atau Eropa. Sebelum kontak dengan pendatang-pendatang dari Eropa, kehidupan mereka disinyalir terisolir tanpa hubungan dengan bangsa lain. Anggapan Eropa itu adalah salah, karena hubungan orang-orang Aborigin dengan bangsa lain justru terjadi sebelum kontak dengan orang-orang Eropa. Ya, jauh sebelum kedatangan rombongan Kapten Phillip dari Kerajaan Britania di Eropa mendaratkan kapalnya di Teluk Botany, pelaut-pelaut Makassar dengan Kapal Pinisinya telah lama mendaratkan sauhnya di bumi Kangguru bahkan telah berinteraksi dengan penduduk setempat.

Kontak orang-orang Aborigin dengan orang-orang Makassar telah lama terjalin. Orang-orang Makassar tiba di benua Australia tidak untuk menjajah tetapi untuk kepentingan ekonomi. Mereka tiba tidak dengan pendapat bahwa bumi Australia ini kosong sehingga mereka mempunyai hak mutlak atasnya. Orang-orang Makassar menyadari bahwa mereka adalah tamu di bumi Aborigin sehingga konflik berdarah tidak pernah terjadi. Kondisi ini berbeda dengan Eropa. Bagi Aborigin, pertemuan dengan rombongan Kapten Phillip adalah suatu pengalaman yang asing. Suatu pengalaman yang sama sekali baru yang berawal dari suatu kecurigaan dan kemudian berubah menjadi konfrontasi fisik.
Kehadiran bangsa Makassar di Australia tentu mengundang banyak tanya. Mulai dari bagaimana mereka bisa sampai kesana, apa yang mendasari perjalanan mereka hingga sampai di benua paling selatan bumi ini, hingga bagaimana pola interaksi mereka dengan bangsa Aborigin semuanya akan dijelaskan dalam tulisan ini.

Teripang Conection

Bangsa Aborigin telah lama berhubungan dengan pelaut-pelaut Makassar jauh sebelum kedatangan rombongan Kapten Phillip dari Eropa. Kapan persisnya hubungan ini dimulai kurang jelas. Dalam buku karangan Macknight (1976) The Voyage to Marege, dia memperkirakan terjadi antara tahun 1650 sampai 1750. Masa itu adalah masa-masa kejayaan Kerajaan Makassar. Menurutnya, pelaut-pelaut dari Makassar ini berlayar ke Australia tepatnya di bagian Utara yang mereka namai Marege untuk mencari teripang yang nantinya mereka jual ke daratan Cina.

Sebelumnya, teripang ini tidak begitu terkenal, namun menurut para ahli ada relasi antara mulai dikenalnya teripang di daratan Cina dan munculnya pelaut-pelaut Makassar di Australia Utara.

Orang-orang Makassar biasanya memperhatikan siklus angin dan musim dalam pelayaran ke Australia. Mereka biasanya tiba sekitar bulan Desember dengan armada sekitar 30 sampai 60 perahu. Tiap perahu isinya sekitar 30 orang. Mereka biasanya mencari teripang selama empat sampai lima bulan dan baru kembali ke Makassar sekitar bulan April bersama angin tenggara. 

Mereka tidak menetap di Marege tetapi tinggal selama empat bulan setiap tahunnya. Orang-orang Makassar itu menukar hak memanen ketimun laut dengan aneka komoditi seperti pakaian, tembakau, pisau, beras dan alkohol dengan penduduk Aborigin, selain juga mempekerjakan laki-laki setempat. Selama periode itu mereka memanen teripang dengan menggunakan tombak bermata tiga kemudian merebus dengan menggunakan periuk di pantai, mendinginkan di pasir lalu mencucinya dengan air laut dan kemudian mengasap serta menjemurnya dibawah sinar Matahari.

Mereka kembali berlayar ke Makassar pada bulan April memanfaatkan angin monsoon membawa teripang kering itu untuk kemudian dijual ke China. Orang-orang China dari Canton (Guangzhou) dan Amoy (Xiamen) datang ke pelabuhan Makassar membawa komoditi porselen dan kemudian kembali ke negerinya membawa teripang. Pada pertengahan abad 19 diketahui orang Makassar membawa sekitar 900 ton teripang dari Marege yang merupakan sepertiga kebutuhan di China.

Sejarawan kurang yakin apakah perjalanan dimulai dari Makassar ke Marege (nama yang diberi Makassar untuk pantai utara Australia). Perdagangan teripang dari Makassar telah dimulai sekitar tahun 1720, meskipun beberapa penulis menyatakan perjalanan telah dimulai 300 tahun lebih awal (sekitar tahun 1400).

Perdagangan mulai merosot pada akhir abad ke-19 karena penetapan bea cukai oleh pemerintah Australia. Setelah penerapan undang-undang untuk melindungi "integritas wilayah" Australia, perahu Makassar terakhir meninggalkan Arnhem Land tahun 1906. Permintaan teripang juga menurun karena kekacauan di Cina pada masa itu.

Interaksi dan Akulturasi

Menurut Macknight, pengalaman orang-orang Makassar berhadapan dengan orang-orang Aborigin bagaikan ‘peradaban’ berhubungan dengan ‘keprimitifan’. Walaupun demikian, jumlah orang Makassar ketika bertemu dengan mereka selalu jauh lebih banyak dan juga tidak pernah tergantung pada mereka. Tujuan utama orang-orang Makassar adalah untuk mendapatkan teripang dan juga berdagang (barter) dengan orang-orang Aborigin. Dari pihak Makassar biasanya menukar barang-barang seperti pakaian, tembakau, pisau, makanan dan alkohol demi hak untuk menangkap ikan di perairan Aborigin. Mereka juga mempekerjakan penduduk asli. Sedangkan dari pihak Aborigin berupa kulit penyu dan kulit mutiara.

Menurut Macknight, orang-orang Makassar adalah pengamat yang tajam, mereka lambat laun dapat mengerti kebiasaan-kebiasaan dan tabiat penduduk asli Marege. Baik pihak Makassar maupun Aborigin saling mengenal satu sama lain hingga hubungan mereka terjalin dengan baik. Begitu lancer hubungan antara mereka sampai-sampai ada orang Aborigin yang berkunjung ke Makassar. Tahun 1824 ada 17 orang Aborigin yang datang ke Makassar. Orang Makassar pun biasanya mengambil wanita Aborigin sehingga tidak aneh kalau ada orang-orang campuran Aborigin dan Makassar di Australia Utara.

Hubungan Makassar dengan penduduk asli Australia masih diingat hingga kini, melalui sejarah lisan (lagu-lagu, tarian) dan lukisan-lukisan batu, dan juga melalui perubahan warisan budaya yang diakibatkan oleh hubungan ini.

Beberapa komunitas Yolngu di Arnhem land mengubah ekonomi mereka dari berbasis darat menjadi berbasis laut, karena masuknya teknologi Makassar seperti kano. Kapal-kapal yang mampu berlayar itu, tidak seperti kano tradisional, memungkinkan penangkapan dugong dan penyu di laut.

Beberapa pekerja Aborigin menemani orang Makassar kembali ke Sulawesi Selatan. Bahasa Makassar menjadi lingua franca di pantai utara, tidak hanya antara Makassar dengan penduduk Aborigin, tetapi juga antara suku-suku Aborigin yang berbeda. Kata dari bahasa Makassar masih dapat ditemui dalam bahasa-bahasa Aborigin di pantai utara; misalnya rupiah (uang), jama (kerja), dan balanda (orang kulit putih). Barang-barang yang diperdagangkan Makassar menyebar hingga ke selatan. Selain itu, kemungkinan Makassar telah membawa agama Islam ke Australia.

Tak mengherankan Bahasa Makassar menjadi bahasa umum yang dipakai orang-orang Aborigin di Marege untuk berinteraksi dan berkomunikasi termasuk dengan suku-suku Aborigin yang berbeda. Suku Yolngu, Iwaidja, penduduk pulau Tiwi, pulau Elcho dan selat Tores telah menyerap kata-kata seperti rupiah (uang), jama (kerja), atau balanda (orang kulit putih). Mereka juga mengadopsi teknologi perahu lepa-lepa yang mereka namakan Lipalipa.

Kunjungan mereka telah memberikan pengaruh bagi penduduk Australia Utara dalam bahasa, seni, ekonomi, dan bahkan genetik keturunan Makassar dan Australia. Peninggalan yang tersisa dari sejarah hubungan orang Makassar dan benua Australia ini diantaranya adalah pohon-pohon asam jawa, koin-koin VOC, porselen China, serta periuk untuk merebus teripang selain juga beberapa keturunannya di Australia Utara.

Sumber Data:
MacKnight, CC. (1976). The Voyage to Marege: Macassan Trepangers in Northern Australia. Melbourne University Press
Philips Kitley, dkk. 1989. Australia di Mata Indonesia: Kumpulan Artikel Pers Indonesia 1973-1988. Jakarta: PT Gramedia
Ratih Hardjono.1992. Suku Putihnya Asia: Perjalanan Australia Mencari Jati Dirinya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Sumber Gambar: