Selasa, 23 Maret 2010

ANCAMAN KRISIS AIR DI DEPAN MATA

ANCAMAN KRISIS AIR DI DEPAN MATA
Muchtar Bijar Zamzamy

Dunia saat ini sedang dilanda kelangkaan air. Sumber-sumber air utamanya untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian secara kuantitas semakin menyusut, bahkan mengering dan secara kualitas semakin jauh dari kesehatan. Umat manusia telah mencemari, mengubah arah, dan menghabiskan mata air kehidupan dengan kecepatan yang mencengangkan. Dari hari ke hari, kebutuhan manusia akan air terus berkembang melampaui ketersediaannya. Akibatnya, lebih dari ratusan juta orang terancam kekurangan air. Krisis global air kini menjadi ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup manusia dan planet Bumi.

Saat ini, krisis air menjadi isu besar dalam forum internasional. Dalam Forum Air se-Dunia yang dilaksanakan di Istambul, Turki 16-22 Maret 2009 lalu, sejumlah pejabat dari berbagai negara, termasuk para kepala daerah dan para ahli berkumpul untuk mencari terobosan perbaikan pengelolaan air dunia. Kegiatan ini diselenggarakan sebagai rangkaian memperingati Hari Air se-Dunia (World Water Day) yang jatuh pada tanggal 22 Maret. Dalam forum tersebut, PBB menerbitkan sebuah dokumen tentang permasalahan air, kependudukan dan perubahan iklim. Sebuah laporan PBB setebal 348 halaman memberikan gambaran yang suram tentang kondisi lingkungan khususnya ketersediaan air pada 2050, dimana negara-negara berkembang akan menghadapi masalah yang sangat mengkhawatirkan. Berbagai krisis yang saat ini melanda, menambah beban negara-negara berkembang menjadi semakin sengsara.

Adanya laporan PBB tersebut, setidaknya menjadi lampu kuning agar masyarakat dunia, termasuk Indonesia melakukan langkah antisipatif terjadinya krisis air. Tak menutup kemungkinan, Indonesia termasuk salah satu negara berkembang yang diprediksikan PBB tersebut. Dalam Forum Air Dunia II di Den Haag, Belanda, Maret 2000 lalu saja, Indonesia sudah diprediksikan termasuk salah satu negara yang akan mengalami krisis air pada 2025.

Faktor Krisis Air

Indonesia akan mengalami krisis air. Padahal Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kawasan hutan tropika basah terbesar kedua di dunia setelah Brazil dan memiliki cadangan air terbesar kelima di dunia setelah Brazil, Kanada, Rusia dan China. Namun hal tersebut bukan sesuatu hal yang tak beralasan. Hal ini dapat dibenarkan dengan melihat data-data dan kondisi realitas di lapangan.

Pertama, Pertumbuhan penduduk Indonesia adalah salah satu faktor yang sangat mengkhawatirkan. Pertumbuhan penduduk yang tinggi memberikan tekanan yang sangat besar pada sumber-sumber air. Pada waktu penduduk Indonesia masih 100 juta jiwa, air bukanlah merupakan komoditi ekonomi, tapi begitu mencapai 200–300 juta jiwa ada kelangkaan air, air menjadi komoditi ekonomi. Kondisi ini dapat kita temui di pulau Jawa. Di pulau Jawa, penduduknya mencapai 65% dari total penduduk Indonesia, hanya tersedia 4,5% potensi air tawar nasional. Faktanya, jumlah ketersediaan air di pulau Jawa yang mencapai 30.569,2 juta meter kubik per tahun tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air bagi seluruh penduduknya. Artinya, di pulau yang terpadat penduduknya itu selalu mengalami defisit paling tidak hingga 2015. Bisa dibayangkan, suatu saat, penduduk Jawa tidak hanya dilanda kehausan tapi juga berimbas pada kelaparan hingga kematian.

Kedua, Krisis air semakin diperparah oleh pemanasan global. Seperti dikemukakan salah satu anggota IPCC Edmundo de Alba, bahwa pemanasan global akan menyebabkan ketimpangan kondisi alam. Dengan meningkatnya suhu udara akan memicu kondisi ekstrem yaitu akan ada wilayah yang kering menjadi bertambah kering dan sebaliknya wilayah basah akan bertambah basah. Indonesia memiliki potensi air yang besar karena Indonesia merupakan negara kepulauan dan masuk dalam wilayah tropika basah. Namun demikian, Indonesia dihadapkan pada tantangan yaitu kacaunya pola cuaca akibat pemanasan global. Pola cuaca yang tak menentu menyebabkan beberapa daerah di Indonesia mengalami kekeringan.

Ketiga, Rusaknya hutan-hutan Indonesia sebagai daerah penyerapan air, penyuplai air dan sumber mata air juga turut andil dalam permasalahan ini. Greenpeace mencatat, setiap jam Indonesia menghancurkan luas hutan yang setara dengan 300 lapangan sepak bola. Sebanyak 72% dari hutan asli Indonesia telah musnah dan setengah dari yang tersisa masih terancam kebakaran, dan penebangan komersial. Di samping itu, melalui program transmigrasi di zaman Orde Baru menyebabkan dibukanya areal hutan untuk pemukiman secara besar-besaran, pengalihan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit di Sumatera, perluasan pemukiman kota di Jawa, serta pariwisata dan industri ikut berperan dalam mengurangi wilayah resapan dan penyangga air serta fungsi hutan. Tak dapat dipungkiri, suatu saat nanti, hutan-hutan Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Papua akan berubah menjadi Gurun Sahara berikutnya.

Keempat, Kerusakan dan pencemaran sumber-sumber air tawar yang menjadi penyuplai sebagian besar kebutuhan air untuk rumah tangga dan pertanian. Di Indonesia, diperkirakan, 60% sungainya, terutama di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi, tercemar berbagai limbah, mulai dari bahan organik hingga bakteri coliform dan fecal coli penyebab diare. Selain itu, berdasarkan catatan Walhi, sebanyak 64 dari total 470 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Indonesia saat ini dalam kondisi yang kritis. Kerusakan ini cukup merata dan tersebar di seluruh Kepulauan Nusantara, sehingga mengakibatkan penurunan nilai daya tampung air dan fungsinya sebagai daerah tangkapan dan resapan air, yang bila dibiarkan bisa berdampak pada pemunculan fenomena-fenomena sungai-sungai mengering dan merosotnya debit air danau.

Selain keempat hal tersebut, juga turut dipengaruhi oleh tingkat kepedulian masyarakat yang rendah terhadap kelestarian lingkungan dan sumber air, buruknya pengelolaan dan pemanfaatan air, serta tidak efektifnya peraturan-peraturan dan kebijakan pemerintah terkait masalah air mendorong memburuknya kondisi sumber daya air.

Ancaman Krisis Air

Kelangkaan air yang terjadi akhir-akhir ini telah muncul di beberapa daerah tertentu khususnya di pulau Jawa, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, hanya merupakan sebagian kecil potret daerah yang mengalami krisis air di waktu tertentu. Kelangkaan pasokan air merupakan salah satu bagian kecil masalah dalam kehidupan manusia, namun kelangkaan pasokan air sebenarnya menimbulkan ancaman yang sangat serius di masa sekarang dan untuk kedepannya, betapapun tidak, kelangkaan pasokan air bisa berujung pada ancaman krisis air.

Krisis air tidak berbeda jauh dengan krisis ekonomi ataupun krisis finansial sama-sama akan menimbulkan kesengsaraaan yang tidak hanya menyangkut bidang tersebut namun juga mempengaruhi bidang kehidupan lainnya. Krisis air akan mengakibatkan banyak hal yang cukup nyata seperti gagal panen yang berujung pada kemiskinan dan kelaparan, kerusakan ekosistem dan ekologi, krisis energi, meningkatnya angka kematian dan tak menutup kemungkinan akan menyebabkan polemik politik ketika masalah ini telah menjadi rumit.

Akumulasi dari kondisi di atas, setidaknya telah memberi indikasi ancaman kelangkaan air di Indonesia. Kondisi ini tentunya perlu mendapat perhatian serius oleh bangsa Indonesia, baik oleh individu, masyarakat, lembaga pemerhati lingkungan, dan utamanya pemerintah Indonesia, sebab krisis air di negara yang merupakan negara terbesar ke-5 yang memiliki persediaan air yang mencukupi ternyata tengah mengancam keberlangsungan hidup masyarakatnya.*

Tidak ada komentar: