Muchtar Muin Mallarani
Kesuksesan China -yang boleh dikata- menjadi super power baru kekuatan politik dunia
yang kini menggantikan Uni Soviet sebagai penyeimbang kekuatan politik Amerika
tak bisa dipisahkan dari kebijakan militeristik negara yang oleh Amerika
dipandang sebagai negara dengan tingkat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
terbesar di dunia. Benarkah?
Bila ditelusur lebih jauh, China pernah menerapkan
kebijakan Revolusi Kebudayaan dan Program Lompatan Jauh ke Depan yang dalam
perjalanan waktunya telah menewaskan ratusan penduduknya jatuh dalam kematian
akibat dari kebijakan yang misorientasi dengan karakter sebagian besar
penduduknya sebagai petani-tradisionalistik yang oleh Amerika dipandang sebagai
pelanggaran HAM negara. Daftar pelanggarannya bertambah dengan jatuhnya ribuan
korban jiwa mahasiswa yang berunjuk rasa di Lapangan Tiananmen, Beijing. Belum
lagi mengenai pemberian hak politik, sosial, dan kemerdekaan menentukan nasib
sendiri bagi Tibet dan Taiwan serta hak-hak bagi suku-suku minoritas China:
Uighur (Xinjiang), Mongol (Inner Mongolia), Manchu (Manchuria) serta Tibet.
Tak hanya China, Amerika Serikat pun tak pernah
lepas dari pelanggaran HAM. Negara yang memiliki konstitusi apik yang dibangun
di atas pondasi demokrasi dan liberalisasi serta puritanisme keagamaan oleh
para Bapak Revolusi mereka, kini serasa telah diabaikan dan dibuang jauh oleh
generasi mereka. Alih-alih membawa panji demokrasi dan liberalisai kepada
dunia, Amerika tak segan tanpa mendapat “lampu hijau” PBB pun dengan seenaknya
mengobarkan perang terhadap Korea, Vietnam, Iraq, dan Afganistan yang dianggap
tidak demoktaris dan otoriter, namun di sisi lain, Amerika turut bermain dalam
suksesi kudeta, pembunuhan dan penjatuhan Kepala Negara yang jelas-jelas
memenangi Pemilu dan demokratis di Iran, Panama, Chile, Guatemala, Kongo, dan
Irak, tetapi malahan melanggengkan kediktatoran dan otoritarianistik Soeharto
di Indonesia, Syah Iran di Iran, Savimbi di Angola, Mobutu di Kongo, Doe di
Liberia dan Abasanjo di Nigeria, yang jelas-jelas membungkam hak bicara, hidup
yang layak, rasa aman, dan hak-hak sipil warganya.
Namun, bagi sebagian kaum Realis memandang bahwa
kebijakan pemerintah tersebut dipandang sebagai hal yang wajar dilakukan negara
mengingat; (1) kepentingan negara menjustifikasi penggunaan instrument
kebijakan maupun militer untuk pencapaian kepentingan nasional (Henry Kissinger);
(2) hakikat politik kekuasaan membuat negara terpaksa melegitimasi kekerasan
dan peperangan sebagai cara untuk memperoleh pengaruh atau kekuasaan (Raymond
Aron); (3) apapun sistem pemerintahannya, setiap negara bertindak dengan
didasari dorongan untuk “perjuangan demi kekuasaan” dan “politik kekuasaan”
adalah norma dasar di dalam aktivitas hubungan antar negara (Morgenthau). Selain
itu, kekerasaan negara, pergolakan dan separatism dalam negara yang menyulut
negara menerapkan kebijakan perang karena dilandasi tiga alasan; (1) hakikat
manusia yang agresif dan haus kekuasan; (2) kondisi ekonomi-domestik negara
yang kadangkala mendorong ekspansi dan kolonisasi; dan (3) sistem internasional
yang pada dasarnya bersifat anarkis (tidak mengenal adanya pemimpin tunggal).
Bagi para pakar Hubungan Internasional –setidaknya
sebagian besar dari mereka- memandang negara adalah “pemegang kekerasan yang
dominan” yang dapat menggunakan kekerasan secara absah karena berhak
mengerahkan kekuatan militer, kepolisian dan kehakiman untuk menegakkan
keamanan, ketertiban, dan hukum. Negara adalah juga merupakan pemilik modal
yang berdaulat karena negara berdaulat atas wilayah tertentu termasuk berhak
untuk mengelola segala macam asset kekayaan alam dan mineral yang ada di
wilayah tersebut. Keistemewaan yang dimiliki oleh negara tersebut cukup untuk
mendudukkan negara sebagai aktor dominan dalam hubungan internasional,
setidak-tidaknya menurut keyakinan kaum Realis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar