Selasa, 30 Maret 2010

TREN INDUSTRI SEPAKBOLA DI EROPA


Dalam satu dasawarsa terakhir ini, daratan Eropa tidak lagi disibukkan dengan perang yang bergejolak yang berlatar belakang ekonomi, persaingan wilayah, ideologi, agama, hingga politik. Bangsa Eropa tidak lagi terpecah-pecah, sibuk mengangkat senjata, mengembangkan industri persenjataan, saling beradu strategi untuk menyerang dan mengalahkan musuh, hingga pada pentasbihan diri sebagai jawara atau Negara yang terkuat atau bangsa yang terunggul di seantero Eropa. Akan tetapi, daratan Eropa kini telah menjelma menjadi sentrum industri baru berbasis keterampilan, ketangkasan dan semangat juang yang membara untuk menjadi pemenang tanpa memegang senjata. Ya, itulah tren baru di Eropa; Industri Sepakbola.

Liga-liga Eropa sangat mengesankan. Menghadirkan pemain dan pelatih yang professional, menyuguhkan permainan yang memukau, menampilkan stadion dan segala kemewahan peralatan yang lengkap, manajemen yang terampil, dan promosi yang gencar serta meleburkan perbedaan ras, negara dan warna kulit. Ia kebanjiran iklan dan disuplai dana yang melimpah. Sebuah permainan yang seantero dunia dapat menyaksikannya. Lihat saja, Liga-liga Eropa dari musim ke musim, klub-klub sepakbola Eropa berlomba dan saling berebut pemain untuk menghadirkan permainan yang berkualitas dan mengejar impian berlabuh diajang bergengsi; Liga Champions Eropa.

Di awal-awal musim kompetisi, jangan heran bila pergantian, transfer, hingga pembelian pemain dan pelatih menjadi marak diperbincangkan, penuh teka-teki, menegangkan dan sekaligus menjadi ajang unjuk kekuatan finansial klub. Tidak hanya itu, renovasi bahkan pembangunan baru stadion sebagai markas klub tak luput dari pengamatan. Inilah tren sepakbola di Eropa, tidak lagi sekadar permainan olahraga. Klub sepakbola di Eropa lebih pas dilihat sebagai entitas bisnis, ketimbang olahraga. Uang yang berputar di sana, membuat ngiler. Sebuah permainan telah berubah menjadi industri.

Industri Sepakbola

Sepakbola kini bukan lagi sekadar olahraga atau permainan. Ia telah menjadi komoditas yang tidak berbeda dengan produk lain yang beredar dalam sistem pasar. Ia telah menjadi industri. Liga Champions Eropa 2010 misalnya, pertandingan sepak bola di kalangan klub-klub jawara yang mewakili Negara mereka yang tengah berlangsung dan akan memasuki babak perdelapan final, hingga akhir bulan April, bukan pengecualian dari premis ini.

Dalam event yang berlangsung setiap tahun itu, ada mekanisme yang mempertemukan hukum permintaan dan penawaran. Di sana ada tim, pemain, pelatih, dan penyelenggara sebagai pemasok. Di sana ada pula pemirsa yang membeli permainan, tontonan, drama, dan hiburan sebagai komoditas. Dari waktu ke waktu, pertandingan sepakbola, apalagi yang bertaraf internasional seperti Liga Champions, bukan lagi semata arena pertandingan yang mengadu ketangguhan, kekuatan, dan kecerdasan tim wakil sebuah negara. Yang lebih menonjol adalah penguatan hukum pasar yang berkembang sedemikian rupa menjadi industri.

Liga-liga sepakbola Eropa selalu menjadi daya tarik bagi pesepakbola dari berbagai belahan dunia, karena menjanjikan kebesaran nama dan tentunya penghasilan yang bisa melimpah ruah. Seorang bintang bahkan dapat mencapai nilai transfer trilyunan rupiah. Ya, sepakbola telah menjadi sebuah industri hiburan dan menempatkan para pemain bintang menjadi selebritis. Keberhasilan Eropa membuat sepakbola menjadi ladang uang mengubah wajah cabang olahraga ini di seluruh dunia.

Untuk memenuhi unsur hiburan tadi, talenta terbaik dari berbagai belahan dunia pun “diperjual belikan” di bursa transfer internasional. Tentu saja, kelas pertama adalah Eropa, sehingga tidak mengherankan bila pemain sepakbola terbaik dunia selalu berasal dari salah satu kesebelasan di Eropa. Tidak mengherankan, kesebelasan besar seperti Real Madrid, Barcelona, Manchester United, Chelsea, Arsenal, dan kesebelasan besar lainnya dipenuhi bintang dari berbagai negara. Atas nama profesionalisme dan industri hiburan, tidak ada aturan yang jelas tentang komposisi pemain lokal dan impor yang boleh dimainkan dalam sebuah pertandingan.

Prestasi dan Prestise

Sepak bola di Eropa adalah aktivitas manusia yang telah menjadi salah satu ukuran peradaban. Semakin maju prestasi sebuah tim dalam sebuah kompetisi, semakin tinggi penghargaan yang diperoleh tim tersebut. Pemain-pemain profesional yang berkualitas menjadi incaran dalam bursa bernilai triliunan rupiah. Di sana, ada pula bursa pelatih, dan bursa penyelenggaraan yang lantas berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan.

Akhir Februari lalu, Tabloid BOLA mengumumkan nilai skuad klub di Eropa. Barcelona menempati urutan pertama dengan nilai skuad 514 juta Euro, disusul Real Madrid 473,5 juta Euro. Lalu Chelsea (436,25), Inter Milan (394,35), Manchester United (375,5), dan Bayern Muenchen (238,5) semua dalam jutaan Euro. Tentu saja, perangkingan ini tidak terlepas dari prestasi klub tersebut dari pertandingan ke pertandingan, serta didukung manajemen dan daya finansial mereka. Keenam klub ini adalah klub-klub papan atas penguasa Liga domestik dan langganan Liga Champions Eropa, yang menjadi incaran utama para pemain sepakbola dunia.

Karena itu, adalah jamak bila sepakbola kemudian menjadi pusat impian dan harapan bagi anak-anak muda dunia untuk meningkatkan kelas sosial mereka. Dari kelas pekerja menjadi kelas pemodal. Dari kelas pesuruh menjadi kelas pengatur. Dan hasilnya adalah bertaburannya orang-orang terkaya dalam usia sangat muda. Wayne Rooney, Lionel Messi dan Christiano Ronaldo adalah generasi orang-orang muda terkaya yang lahir dari kebudayaan populer itu. Sebagai hero, pamor, dan kekayaan mereka tidak kalah dari para bintang di pusat industri film Amerika, Hollywood. Juga tidak mencengangkan bila gaji mereka jauh lebih tinggi daripada gaji seorang Perdana Menteri Inggris.

Event seperti Liga Inggris (Premier League), Liga Spanyol (La Liga), Liga Italia Serie A) dan Liga Jerman (Bundesliga) dari waktu ke waktu pada akhirnya hanyalah tapal batas dari fenomena yang semakin lama semakin menjadi magnet dan penggerak. Magnet dari pusat kebudayaan dunia dan penggerak bagi pertumbuhan roda ekonomi. Ia adalah bagian tidak terpisahkan dari daya tarik kapitalisme global yang tidak terelakkan.

Begitulah industri bernama sepakbola. Ia bisa beromzet triliunan rupiah. Tiap transaksi tak hanya menghasilkan keuntungan pribadi pemain dan agennya, tapi juga keuntungan bagi klub, Negara dimana ia harus membayar pajak penghasilannya, media massa, dan para sponsor yang terlibat di dalamnya. Serta, tentu saja, seorang bintang sepakbola bisa memberikan benefit berupa hiburan yang sehat bagi masyakat penonton bola di seluruh penjuru dunia.

Padahal, sepakbola pada mulanya adalah sebuah tradisi tendang menendang bola yang dimainkan oleh sekelompok penduduk yang bermukim di Eropa. Kini tak begitu penting, bukan? memperdebatkan darimana asalnya sepakbola? Meskipun Inggris mengklaim negeri mereka sebagai tanah kelahiran sepakbola modern: "kampung halaman sepakbola". Dalam sistem masyarakat industri saat ini, pertanyaan yang paling dominan soal sepakbola, adalah di negeri mana sepakbola menghasilkan keuntungan terbesar?

Selasa, 23 Maret 2010

ANCAMAN KRISIS AIR DI DEPAN MATA

ANCAMAN KRISIS AIR DI DEPAN MATA
Muchtar Bijar Zamzamy

Dunia saat ini sedang dilanda kelangkaan air. Sumber-sumber air utamanya untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian secara kuantitas semakin menyusut, bahkan mengering dan secara kualitas semakin jauh dari kesehatan. Umat manusia telah mencemari, mengubah arah, dan menghabiskan mata air kehidupan dengan kecepatan yang mencengangkan. Dari hari ke hari, kebutuhan manusia akan air terus berkembang melampaui ketersediaannya. Akibatnya, lebih dari ratusan juta orang terancam kekurangan air. Krisis global air kini menjadi ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup manusia dan planet Bumi.

Saat ini, krisis air menjadi isu besar dalam forum internasional. Dalam Forum Air se-Dunia yang dilaksanakan di Istambul, Turki 16-22 Maret 2009 lalu, sejumlah pejabat dari berbagai negara, termasuk para kepala daerah dan para ahli berkumpul untuk mencari terobosan perbaikan pengelolaan air dunia. Kegiatan ini diselenggarakan sebagai rangkaian memperingati Hari Air se-Dunia (World Water Day) yang jatuh pada tanggal 22 Maret. Dalam forum tersebut, PBB menerbitkan sebuah dokumen tentang permasalahan air, kependudukan dan perubahan iklim. Sebuah laporan PBB setebal 348 halaman memberikan gambaran yang suram tentang kondisi lingkungan khususnya ketersediaan air pada 2050, dimana negara-negara berkembang akan menghadapi masalah yang sangat mengkhawatirkan. Berbagai krisis yang saat ini melanda, menambah beban negara-negara berkembang menjadi semakin sengsara.

Adanya laporan PBB tersebut, setidaknya menjadi lampu kuning agar masyarakat dunia, termasuk Indonesia melakukan langkah antisipatif terjadinya krisis air. Tak menutup kemungkinan, Indonesia termasuk salah satu negara berkembang yang diprediksikan PBB tersebut. Dalam Forum Air Dunia II di Den Haag, Belanda, Maret 2000 lalu saja, Indonesia sudah diprediksikan termasuk salah satu negara yang akan mengalami krisis air pada 2025.

Faktor Krisis Air

Indonesia akan mengalami krisis air. Padahal Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kawasan hutan tropika basah terbesar kedua di dunia setelah Brazil dan memiliki cadangan air terbesar kelima di dunia setelah Brazil, Kanada, Rusia dan China. Namun hal tersebut bukan sesuatu hal yang tak beralasan. Hal ini dapat dibenarkan dengan melihat data-data dan kondisi realitas di lapangan.

Pertama, Pertumbuhan penduduk Indonesia adalah salah satu faktor yang sangat mengkhawatirkan. Pertumbuhan penduduk yang tinggi memberikan tekanan yang sangat besar pada sumber-sumber air. Pada waktu penduduk Indonesia masih 100 juta jiwa, air bukanlah merupakan komoditi ekonomi, tapi begitu mencapai 200–300 juta jiwa ada kelangkaan air, air menjadi komoditi ekonomi. Kondisi ini dapat kita temui di pulau Jawa. Di pulau Jawa, penduduknya mencapai 65% dari total penduduk Indonesia, hanya tersedia 4,5% potensi air tawar nasional. Faktanya, jumlah ketersediaan air di pulau Jawa yang mencapai 30.569,2 juta meter kubik per tahun tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air bagi seluruh penduduknya. Artinya, di pulau yang terpadat penduduknya itu selalu mengalami defisit paling tidak hingga 2015. Bisa dibayangkan, suatu saat, penduduk Jawa tidak hanya dilanda kehausan tapi juga berimbas pada kelaparan hingga kematian.

Kedua, Krisis air semakin diperparah oleh pemanasan global. Seperti dikemukakan salah satu anggota IPCC Edmundo de Alba, bahwa pemanasan global akan menyebabkan ketimpangan kondisi alam. Dengan meningkatnya suhu udara akan memicu kondisi ekstrem yaitu akan ada wilayah yang kering menjadi bertambah kering dan sebaliknya wilayah basah akan bertambah basah. Indonesia memiliki potensi air yang besar karena Indonesia merupakan negara kepulauan dan masuk dalam wilayah tropika basah. Namun demikian, Indonesia dihadapkan pada tantangan yaitu kacaunya pola cuaca akibat pemanasan global. Pola cuaca yang tak menentu menyebabkan beberapa daerah di Indonesia mengalami kekeringan.

Ketiga, Rusaknya hutan-hutan Indonesia sebagai daerah penyerapan air, penyuplai air dan sumber mata air juga turut andil dalam permasalahan ini. Greenpeace mencatat, setiap jam Indonesia menghancurkan luas hutan yang setara dengan 300 lapangan sepak bola. Sebanyak 72% dari hutan asli Indonesia telah musnah dan setengah dari yang tersisa masih terancam kebakaran, dan penebangan komersial. Di samping itu, melalui program transmigrasi di zaman Orde Baru menyebabkan dibukanya areal hutan untuk pemukiman secara besar-besaran, pengalihan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit di Sumatera, perluasan pemukiman kota di Jawa, serta pariwisata dan industri ikut berperan dalam mengurangi wilayah resapan dan penyangga air serta fungsi hutan. Tak dapat dipungkiri, suatu saat nanti, hutan-hutan Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Papua akan berubah menjadi Gurun Sahara berikutnya.

Keempat, Kerusakan dan pencemaran sumber-sumber air tawar yang menjadi penyuplai sebagian besar kebutuhan air untuk rumah tangga dan pertanian. Di Indonesia, diperkirakan, 60% sungainya, terutama di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi, tercemar berbagai limbah, mulai dari bahan organik hingga bakteri coliform dan fecal coli penyebab diare. Selain itu, berdasarkan catatan Walhi, sebanyak 64 dari total 470 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Indonesia saat ini dalam kondisi yang kritis. Kerusakan ini cukup merata dan tersebar di seluruh Kepulauan Nusantara, sehingga mengakibatkan penurunan nilai daya tampung air dan fungsinya sebagai daerah tangkapan dan resapan air, yang bila dibiarkan bisa berdampak pada pemunculan fenomena-fenomena sungai-sungai mengering dan merosotnya debit air danau.

Selain keempat hal tersebut, juga turut dipengaruhi oleh tingkat kepedulian masyarakat yang rendah terhadap kelestarian lingkungan dan sumber air, buruknya pengelolaan dan pemanfaatan air, serta tidak efektifnya peraturan-peraturan dan kebijakan pemerintah terkait masalah air mendorong memburuknya kondisi sumber daya air.

Ancaman Krisis Air

Kelangkaan air yang terjadi akhir-akhir ini telah muncul di beberapa daerah tertentu khususnya di pulau Jawa, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, hanya merupakan sebagian kecil potret daerah yang mengalami krisis air di waktu tertentu. Kelangkaan pasokan air merupakan salah satu bagian kecil masalah dalam kehidupan manusia, namun kelangkaan pasokan air sebenarnya menimbulkan ancaman yang sangat serius di masa sekarang dan untuk kedepannya, betapapun tidak, kelangkaan pasokan air bisa berujung pada ancaman krisis air.

Krisis air tidak berbeda jauh dengan krisis ekonomi ataupun krisis finansial sama-sama akan menimbulkan kesengsaraaan yang tidak hanya menyangkut bidang tersebut namun juga mempengaruhi bidang kehidupan lainnya. Krisis air akan mengakibatkan banyak hal yang cukup nyata seperti gagal panen yang berujung pada kemiskinan dan kelaparan, kerusakan ekosistem dan ekologi, krisis energi, meningkatnya angka kematian dan tak menutup kemungkinan akan menyebabkan polemik politik ketika masalah ini telah menjadi rumit.

Akumulasi dari kondisi di atas, setidaknya telah memberi indikasi ancaman kelangkaan air di Indonesia. Kondisi ini tentunya perlu mendapat perhatian serius oleh bangsa Indonesia, baik oleh individu, masyarakat, lembaga pemerhati lingkungan, dan utamanya pemerintah Indonesia, sebab krisis air di negara yang merupakan negara terbesar ke-5 yang memiliki persediaan air yang mencukupi ternyata tengah mengancam keberlangsungan hidup masyarakatnya.*