Senin, 03 Oktober 2011

HAM & POLITIK INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF REALIS

 Muchtar Muin Mallarani

China, sebuah negara yang kini memiliki power besar dan kuat dalam percaturan politik dunia. Kedigdayaan China membahana, bukan saja di bidang ekonomi yang diakui dunia, tetapi dalam bidang politik hubungan internasional, China, selain memiliki hak veto juga menjadi punggawa negara-negara Dunia Ketiga serta memiliki hubungan persahabatan yang terjalin baik di hampir semua negara di dunia, utamanya di Asia, Afrika, Eropa, Austronesia hingga Amerika Latin.

Kesuksesan China -yang boleh dikata- menjadi super power baru kekuatan politik dunia yang kini menggantikan Uni Soviet sebagai penyeimbang kekuatan politik Amerika tak bisa dipisahkan dari kebijakan militeristik negara yang oleh Amerika dipandang sebagai negara dengan tingkat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terbesar di dunia. Benarkah?

Bila ditelusur lebih jauh, China pernah menerapkan kebijakan Revolusi Kebudayaan dan Program Lompatan Jauh ke Depan yang dalam perjalanan waktunya telah menewaskan ratusan penduduknya jatuh dalam kematian akibat dari kebijakan yang misorientasi dengan karakter sebagian besar penduduknya sebagai petani-tradisionalistik yang oleh Amerika dipandang sebagai pelanggaran HAM negara. Daftar pelanggarannya bertambah dengan jatuhnya ribuan korban jiwa mahasiswa yang berunjuk rasa di Lapangan Tiananmen, Beijing. Belum lagi mengenai pemberian hak politik, sosial, dan kemerdekaan menentukan nasib sendiri bagi Tibet dan Taiwan serta hak-hak bagi suku-suku minoritas China: Uighur (Xinjiang), Mongol (Inner Mongolia), Manchu (Manchuria) serta Tibet.

Tak hanya China, Amerika Serikat pun tak pernah lepas dari pelanggaran HAM. Negara yang memiliki konstitusi apik yang dibangun di atas pondasi demokrasi dan liberalisasi serta puritanisme keagamaan oleh para Bapak Revolusi mereka, kini serasa telah diabaikan dan dibuang jauh oleh generasi mereka. Alih-alih membawa panji demokrasi dan liberalisai kepada dunia, Amerika tak segan tanpa mendapat “lampu hijau” PBB pun dengan seenaknya mengobarkan perang terhadap Korea, Vietnam, Iraq, dan Afganistan yang dianggap tidak demoktaris dan otoriter, namun di sisi lain, Amerika turut bermain dalam suksesi kudeta, pembunuhan dan penjatuhan Kepala Negara yang jelas-jelas memenangi Pemilu dan demokratis di Iran, Panama, Chile, Guatemala, Kongo, dan Irak, tetapi malahan melanggengkan kediktatoran dan otoritarianistik Soeharto di Indonesia, Syah Iran di Iran, Savimbi di Angola, Mobutu di Kongo, Doe di Liberia dan Abasanjo di Nigeria, yang jelas-jelas membungkam hak bicara, hidup yang layak, rasa aman, dan hak-hak sipil warganya.  

Namun, bagi sebagian kaum Realis memandang bahwa kebijakan pemerintah tersebut dipandang sebagai hal yang wajar dilakukan negara mengingat; (1) kepentingan negara menjustifikasi penggunaan instrument kebijakan maupun militer untuk pencapaian kepentingan nasional (Henry Kissinger); (2) hakikat politik kekuasaan membuat negara terpaksa melegitimasi kekerasan dan peperangan sebagai cara untuk memperoleh pengaruh atau kekuasaan (Raymond Aron); (3) apapun sistem pemerintahannya, setiap negara bertindak dengan didasari dorongan untuk “perjuangan demi kekuasaan” dan “politik kekuasaan” adalah norma dasar di dalam aktivitas hubungan antar negara (Morgenthau). Selain itu, kekerasaan negara, pergolakan dan separatism dalam negara yang menyulut negara menerapkan kebijakan perang karena dilandasi tiga alasan; (1) hakikat manusia yang agresif dan haus kekuasan; (2) kondisi ekonomi-domestik negara yang kadangkala mendorong ekspansi dan kolonisasi; dan (3) sistem internasional yang pada dasarnya bersifat anarkis (tidak mengenal adanya pemimpin tunggal).

Bagi para pakar Hubungan Internasional –setidaknya sebagian besar dari mereka- memandang negara adalah “pemegang kekerasan yang dominan” yang dapat menggunakan kekerasan secara absah karena berhak mengerahkan kekuatan militer, kepolisian dan kehakiman untuk menegakkan keamanan, ketertiban, dan hukum. Negara adalah juga merupakan pemilik modal yang berdaulat karena negara berdaulat atas wilayah tertentu termasuk berhak untuk mengelola segala macam asset kekayaan alam dan mineral yang ada di wilayah tersebut. Keistemewaan yang dimiliki oleh negara tersebut cukup untuk mendudukkan negara sebagai aktor dominan dalam hubungan internasional, setidak-tidaknya menurut keyakinan kaum Realis.