Rabu, 21 Desember 2011

DARIMU AKU BERUBAH


Di hari nan Agung ini, akan kuungkapkan semua tentangku
Dari hari-hari yang telah kujalani
Dari sekian banyak dinamika kehidupanku
Duka-lara, senyum-tangis, suka-cita
Demi sang waktu, Aku berikrar untuk merubah hidupku

Wahai Tuhanku
Terima kasihku telah menitipkan Aku di Bumi
Bersama Udara-Mu, Dunia-Mu & Makhluk-Mu yang lainnya
Ku persembahkan sujudku pada-Mu
Dan ‘kan Ku baktikan hidupku untuk Bumi-Mu

Pada engkau ya Rasulullah
Ku lantunkan Asma-Nya untukmu
Perangaimu, tutur katamu, kepemimpinanmu
Semua menjadi teladan & inspirasi hidup kaummu

Untuk Ibu-Bapakku
Sembah sujudku tanda maafku padamu
Maafkan Ananda bila belum menjemput senyummu
Tersisa waktuku akan kubuktikan & baktikan
Untuk menyegerakan impianmu

Pada engkau yang bernama wanita
Maafkan Aku telah membuatmu terganggu
Namun terima kasih telah membuatku ‘tuk bercermin
Darimulah Aku berubah

Pada semua sahabatku
Ku ucapkan maaf bila tak bisa lagi
Bersenda gurau, bercanda tawa bersamamu
Aku akan menghilang dari keramaian harimu

Sudah cukup, kebersamaan yang telah kusemaikan
Sudah cukup, kesalahan yang telah kulakukan
Sudah cukup, penolakan & acuhan yang kuterima

Hari ini, Aku berikrar

Untuk merubah segalanya tentangku
Untuk melupakan semuanya tentangmu
Untuk bercermin diri dari sikap ke”tidakinginan”mu
Untuk kembali pada niat & baiatku pada Ibu-Bapakku

Untuk semua sahabatku & pada makhluk yang bernama wanita
Ku ucapkan, terima kasih telah mengenalku & maafku atas sikapku
Darimulah Aku Berubah!

Senin, 19 Desember 2011

JANGAN DIKTE KAMI!

(SEBUAH PESAN AFRIKA UNTUK DUNIA)



Afrika, benua tua yang boleh dibilang paling eksotik. Benua ini menyimpan ragam kekayaan mineral, menghadirkan eksotisme panorama alam, dan keanekaragaman budaya, busana, bahasa, kearifan lokal, dan tradisi. Benua yang memberikan pelajaran pada manusianya dengan pergulatan dan perjuangan untuk hidup dari iklim, cuaca, topografi dan demografi yang berbeda; gurun di utara, hutan hujan tropis di tengah dan savana di selatan.
Gambar 1. Topografi Benua Afrika
 Namun, sesuatu yang berharga menjadikan benua ini ladang perebutan hegemoni penguasaan dan pengelolaan sumber daya alamnya. Afrika kaya akan emas (66% dunia), platinium (35%), vanadium (43%), mangan (16%) dan sumber-sumber minyak. Dengan kekayaannya itu, Afrika menjadi incaran negara-negara lain terutama Barat: Eropa dan Amerika. Walaupun demikian, dalam hal ketersediaan pangan, sandang dan papan jauh dari kehidupan yang layak. Kekeringan, kelaparan, kemiskinan, dan keterbelakangan seakan telah melekat pada stigma Afrika.    

Benua Afrika juga merupakan benua yang sulit dimengerti. Afrika penuh dengan kontras tajam, baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik. Dibandingkan dengan benua lain, Afrika ketinggalan di berbagai bidang.

Proposal Barat

Kenyataan tentang kehidupan Afrika telah membuat dunia tersentuh. Bantuan dalam ragam bentuknya pun mengalir ke Afrika. Dalam Millenium Development Goals (MDGs) 2000, para pemimpin dunia bertekad untuk mengurangi jumlah kemiskinan dan keterbelakangan dengan memberikan bantuan pembangunan berupa akses kebutuhan dasar, pelayanan kesehatan, pendidikan dasar, sanitasi dan penghijauan. Juga menyangkut pembangunan berkelanjutan yang mengandung banyak aspek: ekonomi, kehidupan sosial, demokratisasi dan lingkungan. Salah satu kuncinya, negara kaya (Eropa dan Amerika) memenuhi janjinya untuk memberi 0,7% GDPnya untuk pembangunan di negara berkembang terutama Afrika.

Gambar 2. Afrika di Mata Dunia
Sebuah proposal Barat yang menghadirkan dirinya pasca kolonial sebagai “penyelamat” dan seperti era kolonial yang menegaskan kehadirannya sebagai “tugas kaum Putih”. Kita memang patut mengapresiasi kedermawanan Barat. Namun, dibalik proposal ini ada agenda lain yang telah direncanakannya. Ya, proposal Barat mengharuskan Afrika menuruti cara-cara Barat, kehidupan Barat, sistem Barat dan kemauan Barat. Sehingga, dalam perkembangannya, jelas terlihat ada ketidakcocokan, kesalahpahaman atau mungkin kepahamsalahan Barat dalam memahami Afrika. Hal inilah yang memunculkan ketidaknyamanan Afrika sehingga menimbulkan perlawanan.

Kepemimpinan dan Perlawanan
Gambar 3. Moammar Khadafi
Afrika seakan identik dengan proposal Barat. Era pasca kolonial, kemerdekaan sebagian besar negara-negara Afrika merupakan desain dekolonisasi Barat. Pembangunan politik (demokratisasi) dan model pembangunan ekonomi mengacu pada sistem Barat guna mendapatkan pinjaman modal pembangunan negara. Kebijakan luar negeri pun mesti berada di poros Barat. Tidak sedikit memang yang berhasil mengekor dan hormat pada Barat, namun, tak sedikit pula yang dengan berani melawan hegemoni Barat di Afrika.
Gambar 4. Gamal Abdel Nasser

Sosok tokoh seperti Gamal Abdul Nasser di Mesir, Kwame Nkrumah dari Ghana, dan Patrice Lumumba dari Kongo hingga Moammar Khadafi dari Libya yang menerapkan gaya kepemimpinan yang menjauh dari Washington. Perlawanan dilakukan karena mereka menganggap Barat terlalu mendikte mereka. 

Gambar 5. Patrice Lumumba
Bagi mereka, Afrika mempunyai budaya politik yang beda, sistem ekonomi yang mengedepankan sosialisme ala Afrika, dan menginginkan pembangunan yang membebaskan (Development as Freedom).  Mungkin Barat salahpaham ataukah pahamsalah dalam memahami kearifan lokal Afrika dan terlalu memaksakan kehendaknya yang kurang mengadaptasikan dengan kebudayaan setempat. 

Memahami Afrika
Para pemimpin Afrika yang kharismatik tentu telah berulang-ulang mengkampayekan kemandirian Afrika dan persatuan menuju Afrika yang mandiri dan bermartabat. Memahami Afrika memang perlu bagi setiap pelaku kebijakan, bisnis, relawan, dan dermawan, baik negara, korporatokrasi, maupun perorangan.

Ada beberapa pelajaran penting yang sangat berharga yang bisa menjadikan kita lebih memahami Afrika.

(1) Pendekatan Sejarah
Gambar 6. Afrika & Peradabannya
Afrika memiliki sejarah yang panjang, dari ketuaan geologinya, peradabannya beserta kejayaan dan kemundurannya, hingga zaman penghinaan dan kolonialisasi. Untuk memahami Afrika maka pahamilah sejarahnya, dan engkau akan menemukan cara, pendekatan, dan kebijakan yang lebih meng-Afrika karena cukup berpengaruh terhadap psikologi bangsanya. Kehadiran kembali Barat pasca kolonial di Afrika tentu berpengaruh pada stigma masyarakat dan pemimpinnya dalam menilai keberadaannya.

(2) Pendekatan Geografis
Gambar 7. Alam Afrika
Afrika secara kontinental terbagi dalam dua kawasan besar yaitu Afrika Sahara dan Afrika Sub-Sahara. Afrika Sahara yang membentang seluas Gurun Sahara di utara dan Sub-Sahara berada di bawahnya yang berupa hutan tropis di tengah dan padang savana di selatan. Memahami Afrika melalui pendekatan geografis perlu untuk mengetahui kebiasaan, mata pencaharian, pola kehidupan dan karya budaya masyarakatnya. Karena tempaan alam cukup mempengaruhi karakter masyarakatnya. 

(3) Pendekatan Sosial-Budaya.
Gambar 8. Sebaran Bahasa Afrika
Semua kaum di dunia memiliki karya budaya dan pola interaksi sosial yang berbeda. Bangsa Afrika pun terdiri dari ragam suku dan budaya. Tentunya hasil kebudayaannya beradaptasi dengan kecakapan manusianya dan iklim alamnya. Memahami Afrika memahami sosial-budayanya perlu diketahui dalam penerapan kebijakan yang menyesuaikan dengan kebiasaan dan kemampuannya yang membimbingnya ke arah yang lebih berperadaban. Proposal Barat yang terlalu mendikte Afrika dalam jangka pendek jelas berbenturan dengan kebiasaan dan kebudayaannya yang telah lama. Pendekatan adaptasi memang diperlukan.   

(4) Pendekatan Ekonomi-Politik
Gambar 9. Negara-negara Afrika
Pasca kolonial, Afrika terbagi dalam beberapa negara. Untuk kelangsungan hidupnya, negara-negara ini silih berganti mencoba mengadopsi sistem ekonomi dan politik dari impor Sosialis dan Demokratis atau mengkolaborasi dengan sistem ala Afrika. Washington dan Moskow berlomba memasarkan produknya bahkan kini hadir Beijing namun para pemimpin Afrika cukup pandai memilah-milih mana yang sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas bangsanya dan ini mestinya ditoleransi bukannya ditekan apalagi digulingkan. Barat perlu memahami lebih dekat dan peka terhadap kemampuan Afrika.

 (5) Pendekatan Pembangunan
Gambar 10.Aid for Africa
Afrika menginginkan kemandirian dalam sistem, pengelolaan sumber daya dan martabat yang sederajat dalam dunia. Kemandirian perlu diawali dengan penghentian bantuan internasional. Biarkan rakyat mereka bekerja, belajar dan membangun negaranya. Stop bantuan apalagi dibarengi beberapa persyaratan politik. Biarkan mereka menerapkan pembangunan yang membebaskan, membebaskan mereka dari belenggu kemiskinan dan keterbelakangan hingga suatu saat mereka bisa kembali ke zaman kejayaan leluhur mereka seperti sedia kala. Mari kita belajar memahami mereka dan menopangnya serta menuntunnya menuju era African Century

***


Sumber Teks :  
(1) Abdul Hadi Adnan. 2008. Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika.
                        Bandung: Penerbit Angkasa
(2) John Perkins. 2009. Membongkar Kejahatan Jaringan Internasional. 
                        Jakarta: Ufuk Press
Sumber Gambar : http://google.com

Senin, 03 Oktober 2011

HAM & POLITIK INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF REALIS

 Muchtar Muin Mallarani

China, sebuah negara yang kini memiliki power besar dan kuat dalam percaturan politik dunia. Kedigdayaan China membahana, bukan saja di bidang ekonomi yang diakui dunia, tetapi dalam bidang politik hubungan internasional, China, selain memiliki hak veto juga menjadi punggawa negara-negara Dunia Ketiga serta memiliki hubungan persahabatan yang terjalin baik di hampir semua negara di dunia, utamanya di Asia, Afrika, Eropa, Austronesia hingga Amerika Latin.

Kesuksesan China -yang boleh dikata- menjadi super power baru kekuatan politik dunia yang kini menggantikan Uni Soviet sebagai penyeimbang kekuatan politik Amerika tak bisa dipisahkan dari kebijakan militeristik negara yang oleh Amerika dipandang sebagai negara dengan tingkat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terbesar di dunia. Benarkah?

Bila ditelusur lebih jauh, China pernah menerapkan kebijakan Revolusi Kebudayaan dan Program Lompatan Jauh ke Depan yang dalam perjalanan waktunya telah menewaskan ratusan penduduknya jatuh dalam kematian akibat dari kebijakan yang misorientasi dengan karakter sebagian besar penduduknya sebagai petani-tradisionalistik yang oleh Amerika dipandang sebagai pelanggaran HAM negara. Daftar pelanggarannya bertambah dengan jatuhnya ribuan korban jiwa mahasiswa yang berunjuk rasa di Lapangan Tiananmen, Beijing. Belum lagi mengenai pemberian hak politik, sosial, dan kemerdekaan menentukan nasib sendiri bagi Tibet dan Taiwan serta hak-hak bagi suku-suku minoritas China: Uighur (Xinjiang), Mongol (Inner Mongolia), Manchu (Manchuria) serta Tibet.

Tak hanya China, Amerika Serikat pun tak pernah lepas dari pelanggaran HAM. Negara yang memiliki konstitusi apik yang dibangun di atas pondasi demokrasi dan liberalisasi serta puritanisme keagamaan oleh para Bapak Revolusi mereka, kini serasa telah diabaikan dan dibuang jauh oleh generasi mereka. Alih-alih membawa panji demokrasi dan liberalisai kepada dunia, Amerika tak segan tanpa mendapat “lampu hijau” PBB pun dengan seenaknya mengobarkan perang terhadap Korea, Vietnam, Iraq, dan Afganistan yang dianggap tidak demoktaris dan otoriter, namun di sisi lain, Amerika turut bermain dalam suksesi kudeta, pembunuhan dan penjatuhan Kepala Negara yang jelas-jelas memenangi Pemilu dan demokratis di Iran, Panama, Chile, Guatemala, Kongo, dan Irak, tetapi malahan melanggengkan kediktatoran dan otoritarianistik Soeharto di Indonesia, Syah Iran di Iran, Savimbi di Angola, Mobutu di Kongo, Doe di Liberia dan Abasanjo di Nigeria, yang jelas-jelas membungkam hak bicara, hidup yang layak, rasa aman, dan hak-hak sipil warganya.  

Namun, bagi sebagian kaum Realis memandang bahwa kebijakan pemerintah tersebut dipandang sebagai hal yang wajar dilakukan negara mengingat; (1) kepentingan negara menjustifikasi penggunaan instrument kebijakan maupun militer untuk pencapaian kepentingan nasional (Henry Kissinger); (2) hakikat politik kekuasaan membuat negara terpaksa melegitimasi kekerasan dan peperangan sebagai cara untuk memperoleh pengaruh atau kekuasaan (Raymond Aron); (3) apapun sistem pemerintahannya, setiap negara bertindak dengan didasari dorongan untuk “perjuangan demi kekuasaan” dan “politik kekuasaan” adalah norma dasar di dalam aktivitas hubungan antar negara (Morgenthau). Selain itu, kekerasaan negara, pergolakan dan separatism dalam negara yang menyulut negara menerapkan kebijakan perang karena dilandasi tiga alasan; (1) hakikat manusia yang agresif dan haus kekuasan; (2) kondisi ekonomi-domestik negara yang kadangkala mendorong ekspansi dan kolonisasi; dan (3) sistem internasional yang pada dasarnya bersifat anarkis (tidak mengenal adanya pemimpin tunggal).

Bagi para pakar Hubungan Internasional –setidaknya sebagian besar dari mereka- memandang negara adalah “pemegang kekerasan yang dominan” yang dapat menggunakan kekerasan secara absah karena berhak mengerahkan kekuatan militer, kepolisian dan kehakiman untuk menegakkan keamanan, ketertiban, dan hukum. Negara adalah juga merupakan pemilik modal yang berdaulat karena negara berdaulat atas wilayah tertentu termasuk berhak untuk mengelola segala macam asset kekayaan alam dan mineral yang ada di wilayah tersebut. Keistemewaan yang dimiliki oleh negara tersebut cukup untuk mendudukkan negara sebagai aktor dominan dalam hubungan internasional, setidak-tidaknya menurut keyakinan kaum Realis.       

Rabu, 28 September 2011

KONFLIK SUMBER DAYA ALAM DI AFRIKA


Muchtar Muin Mallarani

Afrika penuh dengan kontras tajam, baik dari segi politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Namun dibaliknya, Afrika menyimpan beragam kekayaan alam yang melimpah. Dari kekayaan alam yang dimilikinya inilah yang tak segan-segan menjadi taruhan banyak Negara yang banyak menyulut konflik; baik itu yang berskala internal, antar Negara, dalam skala regional/kawasan, maupun menyeret Negara-negara yang jauh dari Afrika.

Menurut Ernie Regehr, sampai menjelang akhir abad ke-20, 40% dari seluruh konflik di dunia terjadi di Afrika, sedangkan 43% Negara di Afrika pernah dilanda peperangan. Wallensten dan Sollenberg menemukan bahwa antara 1989 sampai 1998, 41% konflik di dunia berlangsung di Afrika. Perlu dicatat bahwa mayoritas konflik di Afrika merupakan internal conflict dalam wilayah suatu Negara. Namun, konflik-konflik tersebut berdampak pada Negara-negara tetangga. Di pihak lain, konflik yang terjadi dipengaruhi faktor eksternal dan regional.

Beberapa konflik yang menyeret antar Negara-negara Afrika maupun Negara luar Afrika adalah karena kepentingan dan perebutan sumber daya alam, utamanya barang tambang. Konflik Sahara Barat tidak hanya berkaitan dengan penentuan nasib sendiri tetapi kontrol terhadap sumber fosfat telah menyulut perselisihan Negara-negara Maghribi, khususnya Maroko, Aljazair, dan Mauritania. Pada 1957, suatu invasi Maroko terhadap Sahara dipukul mundur oleh Spanyol dan pada 1963, sesudah kemerdekaan Aljazair, suatu invasi singkat Maroko terhadap Tindouf yang kaya akan biji besi juga dapat dipukul mundur. Namun demikian, perhatian Maroko terhadap Sahara Spanyol bertambah besar pada 1965 sewaktu sumber-sumber fosfat yang besar ditemukan di Bu Craa dan satu ladang pengolahannya serta jalan menuju El Ainun dibangun. Selama lima tahun berikutnya, Maroko melakukan pendekatan yang konsiliatori yang nampaknya memperkuat posisinya.

Karena Afrika adalah benua yang paling tidak dimengerti maka Afrika juga menjadi benua yang paling mudah diabaikan. Akibatnya, ia rentan terhadap penjarahan. Ini bukan karena Negara-negara Afrika itu tidak penting bagi Negara lain. Negara sekelas Amerika Serikat (AS) pun memantapkan dominasinya di benua ini karena tergiur sumber daya alamnya, utamanya minyak. Niger adalah pemasok terbesar kelima minyak AS, Angola yang keenam, dan Gabon yang kesepuluh. Dominasi AS pun kian kuat dengan kehadiran para korporatokrasi yang ‘menjarah’ perut Afrika. Tak heran, bila para Bandit Ekonomi dan Jakal (Pembunuh Bayaran Negara) dari AS diturunkan untuk memuluskan negosiasi, bahkan bila negosiasi terhambat, upaya kudeta bahkan pembunuhan kepala Negara pun ditunaikan demi menancapkan dominasinya. Peran AS dalam pembunuhan Patrice Lumumba di Kongo serta dukungan penuh AS kepada para diktator Afrika: Jonas Savimbi di Angola, Mobutu Sese Seko dan Laurent Kabila di Kongo, Abacha dan Olusegun Obasanjo di Nigeria, Samuel Doe di Liberia, sebagaimana juga kekejaman di Rwanda, Sudan dan Liberia.

Setelah pembunuhan Patrice Lumumba, Jenderal Mobutu Sese Seko, kesayangan AS seamasa Perang Dingin memimpin Kongo dengan otoriter, paling keji, korup, dan sangat mengganggu Negara tetangganya. Akibat tindakannya itu, Rwanda dan Uganda –tetangganya- mengirim pasukan memasuki Kongo, menggulingkan Mobutu lalu menggantinya dengan Kabila yang ternyata sama buruknya. Uganda dan Rwanda menginvasi lagi pada 1998, enam Negara lain, yang melihat invasi ini sebagai kesempatan untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya Kongo, bergabung dengan peristiwa yang dikenal sebagai Perang Dunia Pertama Afrika.

Konflik etnik, budaya dan suku ikut berperan dalam peperangan itu, namun yang terutama adalah perebutan sumber daya.  Menurut TIME: “tanah Kongo padat dengan intan, emas, tembaga, uranium dan tantalum (digunakan dalam barang-barang elektronik seperti telepon seluler dan komputer jinjing).” Negara Kongo sangat luas dan di banyak tempatnya tertutup oleh hutan tropis yang lebat dan daerah pertanian yang subur.

Tanpa tantalum Kongo, AS tidak akan memiliki banyak produk berbasis komputer. Kelompok-kelompok milisi Rwanda dan Uganda mungkin saja membenarkan invasi dengan alasan bahwa mereka melindungi rakyatnya dari para pemberontak, tetapi mereka juga memperoleh miliyaran dolar dari tantalum yang mereka kumpulkan dan selundupkan lewat perbatasan selama peperangan ini.*****    

Minggu, 26 Juni 2011

NGO MERAJUT DEMOKRASI

  
# Muchtar Muin Mallarani


Mengapa jumlah Non-Government Organization (NGO) cenderung bertambah? Berapa jumlahnya sekarang? Apa yang membedakan antara suatu NGO dengan NGO lainnya? Bagaimana hubungan NGO dengan pemerintah dan juga dengan pihak donor? Daftar pertanyaan itu bisa lebih panjang lagi mengingat isu NGO kini telah menjadi bagian inheren dalam agenda wacana pembangunan internasional.
Pembangunan internasional menekankan peran penting NGO di negara-negara berkembang sebagai agen sosial untuk pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan demokratisasi. Ketika wacana pembangunan dan kebijakan pembangunan mutakhir menempatkan komunitas NGO sebagai agen pembangunan dan demokratisasi, isu di seputar eksistensi NGO pun mengemuka melalui agenda tentang demokratisasi tata pemerintahan, bahkan, kebijakan pembangunan internasional menempatkan reformasi tata pemerintahan khususnya di negara-negara berkembang sebagai prasyarat untuk keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara.
Peran dan jumlah NGO yang semakin meningkat dan tuntutan reformasi tata pemerintahan seakan menjadi sokoguru dari upaya penciptaan tata pemerintahan demokratis baik sebagai prasyarat pembangunan berkelanjutan maupun sebagai tujuan dari pembangunan itu sendiri.
Menimbang heterogenitas entitas NGO, secara analitis sangat tidak mudah merangkum semua kategori NGO, karenanya tulisan ini berfokus pada satu kategori NGO yang saya sebut sebagai NGO non-keanggotaan berorientasi pembangunan, yang mana menyediakan berbagai pelayanan kepentingan publik dan terlibat dalam persoalan-persoalan pembangunan seperti pengentasan kemiskinan dan kebodohan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, gender, hak asasi manusia, good governance dan penguatan masyarakat sipil.

Relasi NGO, Donor dan Pemerintah

NGO dapat muncul di dalam konteks ekonomi dan politik yang berbeda-beda dan individu bisa bergabung atau membentuknya dengan motivasi yang berbeda pula. Terdapat banyak cara dimana NGO bisa muncul atau dimana individu dapat bergabung dengan NGO. Sampai derajat tertentu, konteks kebijakan ekonomi neo-liberal dan kebijakan demokrasi liberal yang dikembangkan oleh para donor telah menumbuhkembangkan NGO. Lebih jauh, banyak individu yang bekerja di sektor NGO di dorong oleh ide untuk mencoba mengubah negara atau mempengaruhi kebijakan publik. Mereka juga bergabung dengan sektor NGO karena sektor ini dapat memberi mereka sumber nafkah.
Meningkatnya aksi-aksi sukarela dan minat pihak donor telah mendorong munculnya NGO sebagai wahana untuk menjalankan pembangunan sosial dan ekonomi dan pemberdayaaan masyarakat sipil di negara-negara berkembang. Menurut Zaidi (1999) dan Salamon (1994), justifikasi utama dan kekuatan penggerak di balik antusiasme terhadap sektor NGO adalah kegagalan negara dalam melaksanakan pembangunan terutama diakibatkan oleh mekanisme birokrasi yang kaku dan tidak partisipatif dalam melaksanakan pembangunan. Akibatnya, agen donor menganggap bahwa dibandingkan dengan pemerintah, NGO lebih efektif dalam menyalurkan dana kepada pihak yang membutuhkan.
Untuk mendukung proses demokratisasi dan pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang, agen-agen donor memberikan bantuan atau dana melalui NGO sebagai aktor utama organisasi masyarakat sipil. Dengan menggunakan istilah ‘bantuan pembangunan’ (development aid), ‘bantuan masyarakat sipil’ (civil society aid), dan ‘bantuan demokrasi’ (democracy aid), agen-agen donor resmi dan swasta menyalurkan dana bantuan untuk negara-negara berkembang. Tujuan utama dari bantuan tersebut adalah untuk mempromosikan penguatan hak-hak sipil sebagai kunci penciptaan demokrasi.
Lalu bagaimana hubungan NGO-Donor dengan Pemerintah. Dalam konteks Indonesia, isu hubungan NGO - Pemerintah dan implikasinya terhadap kinerja dan kontribusi NGO telah dikaji oleh Eldridge (1989; 1995) yang menunjukkan bahwa posisi dan sikap NGO terhadap pemerintah sangat ditentukan oleh isi dan pendekatan yang terkandung dalam aktivitas NGO. Eldridge mengelompokkan NGO di Indonesia menjadi empat kategori, yakni;
Pertama, NGO yang menekankan pada penyediaan pelayanan untuk masyarakat lapisan paling bawah (grassroots) dengan pendekatan ‘high level cooperation – grassroots development’ (kerjasama tingkat tinggi – pembangunan masyarakat bawah). 
Kedua, NGO yang menekankan mobilisasi massa pada isu-isu tertentu, seperti lingkungan, gender, hak asasi manusia dan demokrasi dengan pendekatan ‘high level politic - grassroots mobilization’ (politik tingkat tinggi - mobilisasi masyarakat bawah).
Ketiga, NGO yang menggunakan pendekatan ‘empowerment from below’ (pemberdayaan dari bawah) dengan pendekatan hubungan tatap muka intensif dengan kelompok sasaran dan hanya melakukan kontak seperlunya dengan agen pemerintah.
Keempat adalah NGO radikal yang kritis terhadap pemerintah dan menempatkan diri sebagai ‘oposisi’ terhadap pemerintah.
Dalam agenda demokratisasi di Indonesia, NGO yang berperan dalam upaya pembangunan yang menyentuh masyarakat bawah relatif pada kategori ketiga. Keunggulan NGO kategori ini memiliki kemampuan mencapai golongan masyarakat miskin, melakukan pendekatan partisipatif, inovasi dan eksperimentasi, efektivitas biaya, komitmen jangka panjang serta penekanan pada kesinambungan. NGO kategori inilah yang memainkan peran signifikan dalam demokratisasi di Indonesia.

NGO dan Demokratisasi di Indonesia

Tidak mudah untuk membuat penilaian tentang sejauhmana kontribusi NGO dalam mengembangkan tata pemerintahan yang demokratis. Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa baik dalam konstelasi politik yang otoritarian maupun demokratis, diantara beragam organisasi masyarakat sipil yang ada barangkali hanya NGO yang memiliki konsistensi, semangat dan kontribusi yang cukup berarti dalam pengembangan tata pemerintahan yang demokratis di Indonesia.
Dari segi isu aktivitas, misalnya, NGO telah menjangkau isu-isu baru yang berkembang seiring dengan perubahan politik di Indonesia. Proses desentralisasi dan otonomi daerah dan berbagai implikasi turunannya telah membawa NGO untuk memberi bobot perhatian yang makin besar kepada aksi-aksi di level lokal, seperti monitoring dan investigasi praktik-praktik politik uang dalam pemilihan kepala daerah, counter wacana dan aksi terhadap tren dominasi “raja-raja lokal” dan juga konsolidasi demokrasi di tingkat lokal untuk mengikis ‘pencaplokan’ demokrasi oleh elit-elit lokal.
Selain itu, Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat masih banyak masyarakatnya yang belum paham tentang demokrasi. Banyak faktor yang membuat demokrasi belum dipahami secara baik. Salah satunya ialah kebiasaan menonjolkan suku, agama ras, dan golongan. Sikap yang mengedepankan egosentis kesukuan dan kedaerahan masih kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia, utamanya masyarakat di luar perkotaan. Sebagai solusi dari masalah ini, salah satu NGO nasional, KID (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi) pimpinan Ignas Kleden yang bermitra dengan NGO internasional, Partnership-Kemitraan Indonesia mendirikan Sekolah Demokrasi.

Demokratisasi ala Sekolah Demokrasi   

Sekolah Demokrasi telah dilaksanakan di lima provinsi sejak tahun 2007 yakni; Provinsi Banten (Kab. Tangerang), Jawa Timur (kab. Malang dan Kota Batu), Sulawesi Selatan (Kab. Jeneponto dan Kab. Pangkep), Sumatera Selatan (Kab. Banyuasin dan Kab. Ogan Hilir), dan Nusa Tenggara Timur (Kab. Lembata dan Kab. Belu). Kemudian di tahun 2010/2011, KID mendorong munculnya Sekolah Demokrasi di tiga provinsi yakni, Kalimantan Barat (Kab. Sanggau), Nanggroe Aceh Darussalam ( Kab. Lhokseumawe) dan Papua (Distrik Wamena).
Untuk Sulawesi Selatan, Program Sekolah Demokrasi dilaksanakan di dua kabupaten, yaitu Kab. Jeneponto dan Pangkep. Realisasi program ini, pihak KID menjalin kerjasama dengan NGO lokal yaitu Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Makassar. LAPAR Makassar adalah lembaga nirlaba yang konsern pada isu penguatan demokrasi, pluralisme dan pendidikan rakyat. Setelah sukses melaksanakan Sekolah Demokrasi di Kab. Jeneponto (2009), kini LAPAR sedang menyelenggarakan Sekolah Demokrasi di Kab. Pangkep.
Program Sekolah Demokrasi berlangsung selama setahun. Program ini adalah bagian dari penguatan demokrasi yang lebih kuat dan lebih substansif. Prosesnya dilakukan dengan model pembelajaran dalam kelas dan praktek demokrasi di luar kelas selama satu tahun. Kegiatan dalam bentuk seminar multi stakeholder dengan menghadirkan peserta dan pemateri dari kalangan akademisi, pemerintah dan masyarakat. Target binaan ialah para pemuda berusia antara 21 - 40 tahun, minimal tamatan SMA/sederajat dan berdomisili di daerah tempat pelaksanaan Sekolah Demokrasi.
Dengan adanya Sekolah Demokrasi ini setidaknya mampu memberi pencerahan dan pemahaman pada masyarakat, pemuda, para stakeholder dan pemerintah tentang demokrasi dalam semangat Bhinneka Tungal Ika demi kemajuan bangsa dan negara di bawah kesatuan payung NKRI.

***