Minggu, 26 Juni 2011

NGO MERAJUT DEMOKRASI

  
# Muchtar Muin Mallarani


Mengapa jumlah Non-Government Organization (NGO) cenderung bertambah? Berapa jumlahnya sekarang? Apa yang membedakan antara suatu NGO dengan NGO lainnya? Bagaimana hubungan NGO dengan pemerintah dan juga dengan pihak donor? Daftar pertanyaan itu bisa lebih panjang lagi mengingat isu NGO kini telah menjadi bagian inheren dalam agenda wacana pembangunan internasional.
Pembangunan internasional menekankan peran penting NGO di negara-negara berkembang sebagai agen sosial untuk pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan demokratisasi. Ketika wacana pembangunan dan kebijakan pembangunan mutakhir menempatkan komunitas NGO sebagai agen pembangunan dan demokratisasi, isu di seputar eksistensi NGO pun mengemuka melalui agenda tentang demokratisasi tata pemerintahan, bahkan, kebijakan pembangunan internasional menempatkan reformasi tata pemerintahan khususnya di negara-negara berkembang sebagai prasyarat untuk keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara.
Peran dan jumlah NGO yang semakin meningkat dan tuntutan reformasi tata pemerintahan seakan menjadi sokoguru dari upaya penciptaan tata pemerintahan demokratis baik sebagai prasyarat pembangunan berkelanjutan maupun sebagai tujuan dari pembangunan itu sendiri.
Menimbang heterogenitas entitas NGO, secara analitis sangat tidak mudah merangkum semua kategori NGO, karenanya tulisan ini berfokus pada satu kategori NGO yang saya sebut sebagai NGO non-keanggotaan berorientasi pembangunan, yang mana menyediakan berbagai pelayanan kepentingan publik dan terlibat dalam persoalan-persoalan pembangunan seperti pengentasan kemiskinan dan kebodohan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, gender, hak asasi manusia, good governance dan penguatan masyarakat sipil.

Relasi NGO, Donor dan Pemerintah

NGO dapat muncul di dalam konteks ekonomi dan politik yang berbeda-beda dan individu bisa bergabung atau membentuknya dengan motivasi yang berbeda pula. Terdapat banyak cara dimana NGO bisa muncul atau dimana individu dapat bergabung dengan NGO. Sampai derajat tertentu, konteks kebijakan ekonomi neo-liberal dan kebijakan demokrasi liberal yang dikembangkan oleh para donor telah menumbuhkembangkan NGO. Lebih jauh, banyak individu yang bekerja di sektor NGO di dorong oleh ide untuk mencoba mengubah negara atau mempengaruhi kebijakan publik. Mereka juga bergabung dengan sektor NGO karena sektor ini dapat memberi mereka sumber nafkah.
Meningkatnya aksi-aksi sukarela dan minat pihak donor telah mendorong munculnya NGO sebagai wahana untuk menjalankan pembangunan sosial dan ekonomi dan pemberdayaaan masyarakat sipil di negara-negara berkembang. Menurut Zaidi (1999) dan Salamon (1994), justifikasi utama dan kekuatan penggerak di balik antusiasme terhadap sektor NGO adalah kegagalan negara dalam melaksanakan pembangunan terutama diakibatkan oleh mekanisme birokrasi yang kaku dan tidak partisipatif dalam melaksanakan pembangunan. Akibatnya, agen donor menganggap bahwa dibandingkan dengan pemerintah, NGO lebih efektif dalam menyalurkan dana kepada pihak yang membutuhkan.
Untuk mendukung proses demokratisasi dan pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang, agen-agen donor memberikan bantuan atau dana melalui NGO sebagai aktor utama organisasi masyarakat sipil. Dengan menggunakan istilah ‘bantuan pembangunan’ (development aid), ‘bantuan masyarakat sipil’ (civil society aid), dan ‘bantuan demokrasi’ (democracy aid), agen-agen donor resmi dan swasta menyalurkan dana bantuan untuk negara-negara berkembang. Tujuan utama dari bantuan tersebut adalah untuk mempromosikan penguatan hak-hak sipil sebagai kunci penciptaan demokrasi.
Lalu bagaimana hubungan NGO-Donor dengan Pemerintah. Dalam konteks Indonesia, isu hubungan NGO - Pemerintah dan implikasinya terhadap kinerja dan kontribusi NGO telah dikaji oleh Eldridge (1989; 1995) yang menunjukkan bahwa posisi dan sikap NGO terhadap pemerintah sangat ditentukan oleh isi dan pendekatan yang terkandung dalam aktivitas NGO. Eldridge mengelompokkan NGO di Indonesia menjadi empat kategori, yakni;
Pertama, NGO yang menekankan pada penyediaan pelayanan untuk masyarakat lapisan paling bawah (grassroots) dengan pendekatan ‘high level cooperation – grassroots development’ (kerjasama tingkat tinggi – pembangunan masyarakat bawah). 
Kedua, NGO yang menekankan mobilisasi massa pada isu-isu tertentu, seperti lingkungan, gender, hak asasi manusia dan demokrasi dengan pendekatan ‘high level politic - grassroots mobilization’ (politik tingkat tinggi - mobilisasi masyarakat bawah).
Ketiga, NGO yang menggunakan pendekatan ‘empowerment from below’ (pemberdayaan dari bawah) dengan pendekatan hubungan tatap muka intensif dengan kelompok sasaran dan hanya melakukan kontak seperlunya dengan agen pemerintah.
Keempat adalah NGO radikal yang kritis terhadap pemerintah dan menempatkan diri sebagai ‘oposisi’ terhadap pemerintah.
Dalam agenda demokratisasi di Indonesia, NGO yang berperan dalam upaya pembangunan yang menyentuh masyarakat bawah relatif pada kategori ketiga. Keunggulan NGO kategori ini memiliki kemampuan mencapai golongan masyarakat miskin, melakukan pendekatan partisipatif, inovasi dan eksperimentasi, efektivitas biaya, komitmen jangka panjang serta penekanan pada kesinambungan. NGO kategori inilah yang memainkan peran signifikan dalam demokratisasi di Indonesia.

NGO dan Demokratisasi di Indonesia

Tidak mudah untuk membuat penilaian tentang sejauhmana kontribusi NGO dalam mengembangkan tata pemerintahan yang demokratis. Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa baik dalam konstelasi politik yang otoritarian maupun demokratis, diantara beragam organisasi masyarakat sipil yang ada barangkali hanya NGO yang memiliki konsistensi, semangat dan kontribusi yang cukup berarti dalam pengembangan tata pemerintahan yang demokratis di Indonesia.
Dari segi isu aktivitas, misalnya, NGO telah menjangkau isu-isu baru yang berkembang seiring dengan perubahan politik di Indonesia. Proses desentralisasi dan otonomi daerah dan berbagai implikasi turunannya telah membawa NGO untuk memberi bobot perhatian yang makin besar kepada aksi-aksi di level lokal, seperti monitoring dan investigasi praktik-praktik politik uang dalam pemilihan kepala daerah, counter wacana dan aksi terhadap tren dominasi “raja-raja lokal” dan juga konsolidasi demokrasi di tingkat lokal untuk mengikis ‘pencaplokan’ demokrasi oleh elit-elit lokal.
Selain itu, Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat masih banyak masyarakatnya yang belum paham tentang demokrasi. Banyak faktor yang membuat demokrasi belum dipahami secara baik. Salah satunya ialah kebiasaan menonjolkan suku, agama ras, dan golongan. Sikap yang mengedepankan egosentis kesukuan dan kedaerahan masih kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia, utamanya masyarakat di luar perkotaan. Sebagai solusi dari masalah ini, salah satu NGO nasional, KID (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi) pimpinan Ignas Kleden yang bermitra dengan NGO internasional, Partnership-Kemitraan Indonesia mendirikan Sekolah Demokrasi.

Demokratisasi ala Sekolah Demokrasi   

Sekolah Demokrasi telah dilaksanakan di lima provinsi sejak tahun 2007 yakni; Provinsi Banten (Kab. Tangerang), Jawa Timur (kab. Malang dan Kota Batu), Sulawesi Selatan (Kab. Jeneponto dan Kab. Pangkep), Sumatera Selatan (Kab. Banyuasin dan Kab. Ogan Hilir), dan Nusa Tenggara Timur (Kab. Lembata dan Kab. Belu). Kemudian di tahun 2010/2011, KID mendorong munculnya Sekolah Demokrasi di tiga provinsi yakni, Kalimantan Barat (Kab. Sanggau), Nanggroe Aceh Darussalam ( Kab. Lhokseumawe) dan Papua (Distrik Wamena).
Untuk Sulawesi Selatan, Program Sekolah Demokrasi dilaksanakan di dua kabupaten, yaitu Kab. Jeneponto dan Pangkep. Realisasi program ini, pihak KID menjalin kerjasama dengan NGO lokal yaitu Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Makassar. LAPAR Makassar adalah lembaga nirlaba yang konsern pada isu penguatan demokrasi, pluralisme dan pendidikan rakyat. Setelah sukses melaksanakan Sekolah Demokrasi di Kab. Jeneponto (2009), kini LAPAR sedang menyelenggarakan Sekolah Demokrasi di Kab. Pangkep.
Program Sekolah Demokrasi berlangsung selama setahun. Program ini adalah bagian dari penguatan demokrasi yang lebih kuat dan lebih substansif. Prosesnya dilakukan dengan model pembelajaran dalam kelas dan praktek demokrasi di luar kelas selama satu tahun. Kegiatan dalam bentuk seminar multi stakeholder dengan menghadirkan peserta dan pemateri dari kalangan akademisi, pemerintah dan masyarakat. Target binaan ialah para pemuda berusia antara 21 - 40 tahun, minimal tamatan SMA/sederajat dan berdomisili di daerah tempat pelaksanaan Sekolah Demokrasi.
Dengan adanya Sekolah Demokrasi ini setidaknya mampu memberi pencerahan dan pemahaman pada masyarakat, pemuda, para stakeholder dan pemerintah tentang demokrasi dalam semangat Bhinneka Tungal Ika demi kemajuan bangsa dan negara di bawah kesatuan payung NKRI.

***