Selasa, 18 Desember 2012

DINAMIKA POLITIK ASIA-PASIFIK DAN POSISI INDONESIA: SUDUT PANDANG GEOPOLITIK


#Muchtar Muin Mallarani

Berakhirnya Perang Dingin telah menandai dimulainya suatu babak baru dalam peta konstelasi politik internasional. Selama dua dasawarsa terakhir, konstelasi politik internasional mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat signifikan, dinamis dan kompleks. Kecenderungan ini dipicu oleh berbagai perubahan mendasar yang terjadi di lingkungan internasional, yaitu semakin mengemukanya globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, budaya, politik hingga militer dan munculnya regionalisasi di berbagai kawasan dunia baik dalam pendekatan geografi, sosial-budaya, ekonomi dan politik serta perubahan tatanan geopolitik dunia kontemporer dari bipolar menjadi multipolar, dari persaingan politik-keamanan menjadi ekonomi-politik serta pergeseran letak jantung dunia dari Eropa Timur ke Asia-Pasifik.
 Asia-Pasifik merupakan kawasan yang berada pada belahan dunia bagian timur yang mencakup negara-negara Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Selatan dan Oseania termasuk Australia. Kawasan ini memainkan peran signifikan semenjak kemajuan ekonomi yang dialami oleh negara-negara Asia Timur; Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Cina serta keberhasilan pembangunan ekonomi negara-negara Asia Tenggara pasca krisis moneter dan perubahan arah kebijakan politik dan ekonomi Australia yang semakin mendekatkan diri ke Asia telah menjadikan kawasan ini tumbuh berkembang, dinamis, maju dan berpengaruh, baik secara geopolitik maupun secara geoekonomi di dunia.

Fenomena Keajaiban Asia

Fenomena Kebangkitan Asia telah membuat banyak pengamat politik dan ekonom dunia menyebut abad ke-21 sebagai Abad Asia. Salah satu diantaranya ialah John Naisbitt. John Naisbitt dalam bukunya yang laris terjual Megatrends Asia: Eight Asian Megatrends that are Reshaping Our World, menulis bahwa;
Today, global forces are forcing us to confront a new reality: the rise of the East. It is becoming apparent to the East and to some in the West that we are moving toward the Easternization of the world. In the global context, the West is still important, but no longer dominant. The global axis of influence has shifted from West to East.
Pernyataan John Naisbitt ini merupakan wujud kekaguman Barat terhadap realitas Kebangkitan Timur. Sebagai seorang ekonom dan analis ekonomi-politik, ia merasakan sendiri fenomena Keajaiban Asia; bagaimana wajah Asia berubah, bagaimana bangsa-bangsa Timur ini berhasil memakmurkan bangsanya dan memajukan negaranya serta menjadikan kawasan Asia sebagai jantung dunia kontemporer. Naisbitt mengakui terjadinya gejala Easternization pada dunia dimana Asia memainkan kartu as global baik secara geopolitik, geoekonomi dan geostrategi di dunia.
Fenomena Keajaiban Asia turut mempengaruhi dinamika politik internasional. Kemajuan Asia Timur telah mengubah cara pandang dan kebijakan luar negeri negara-negara besar di kawasan Asia-Pasifik yang memiliki pengaruh dan kepentingan baik secara geopolitik, geoekonomi dan geostrategi di kawasan ini utamanya negara-negara besar seperti Australia, Amerika Serikat, Jepang dan Cina. Hal ini dapat diamati dari kebijakan luar negeri Australia yang semakin mendekatkan diri pada Asia utamanya Asia Tenggara. Kebijakan luar negeri Amerika Serikat pasca kemenangan Barack Obama 2008 lalu yang melakukan kunjungan luar negeri pertama melalui Menlu Hilarry Clinton ke empat negara Asia; Indonesia, Jepang, Korea Selatan dan Cina. Dorongan besar Jepang untuk meningkatkan kapabilitas militernya serta agresifitas Cina dalam membentengi garis-garis perbatasan negaranya serta memainkan pengaruh luar negerinya melalui serangkaian kerjasama dengan negara-negara tetangga di barat melalui kerjasama Shanghai Cooperation Organization (SCO) dan tenggara melalui pembentukan Greater Mekong Sub-region (GMS). Kondisi inilah yang sekarang mewarnai dinamika politik dan strategi di kawasan Asia-Pasifik yang memerlukan kajian mendalam untuk menelaahnya baik untuk kepentingan stabilitas kawasan maupun untuk kepentingan analisis geopolitik dan geostrategi negara-negara besar tersebut di kawasan Asia-Pasifik.

Konstelasi Politik Kawasan

Kemajuan ekonomi dan stabilitas moneter negara-negara Asia-Pasifik tidak serta merta dibarengi pula dengan stabilitas politik antar negara dan kawasan, namun sebaliknya beragam masalah turut mewarnai dinamika kehidupan politik negara-negara di kawasan Asia-Pasifik. Konflik perbatasan antar negara, sengketa kepemilikan pulau, klaim penguasaan wilayah, ancaman disintegrasi bangsa dan gerakan separatis kemerdekaan dalam negeri serta disharmonisasi dan rasa kecurigaan antar negara dalam hubungan bertetangga dua negara adalah serangkaian masalah yang menghiasi pemberitaan di media massa, menjadi kajian analisis bagi para penstudi Hubungan Internasional dan bahan evaluasi diplomasi bagi para diplomat dan politisi di hampir semua negara-negara di kawasan ini. Konflik perbatasan antar negara kerap terjadi antara Indonesia-Malaysia serta antara Thailand-Kamboja. Sengketa kepemilikan pulau melibatkan Jepang-Cina serta Cina-Taiwan bersengketa. Klaim penguasaan wilayah Sabah oleh Filipina terhadap Malaysia serta Laut Cina Selatan oleh Cina terhadap negara-negara Asia Tenggara kerap mengganggu stabilitas kawasan. Pergerakan separatis dan perjuangan kemerdekaan berdengung di wilayah Papua-Indonesia, Mindanao-Filipina, Thailand Selatan-Thailand, Rohingya-Myanmar, serta Taiwan dari Cina. Disharmonisasi dan kecurigaan antar negara tetangga masih saja menghinggapi mindset masyarakat dan pemerintah negara Korea Selatan terhadap Korea Utara, Cina terhadap Jepang, Kamboja terhadap Vietnam, serta Australia terhadap Indonesia dan juga negara-negara kepulauan Pasifik terhadap Indonesia. Ragam masalah ini menjadi persoalan utama di semua negara dan organisasi kawasan dan menjadi bahan evaluasi dan masukan dalam perumusan kebijakan baik dalam menyikapi politik domestik maupun hubungan luar negeri masing-masing negara.

Pelajaran untuk Indonesia

Menyikapi dinamika hubungan internasional yang terjadi di kawasan Asia-Pasifik dapat menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Diantara negara-negara Asia-Pasifik, Indonesia merupakan negara dengan tingkat potensialitas konflik dan ancaman disintegrasi yang paling potensial. Keberagaman suku bangsa, agama, ras, dan kebudayaan serta tinggalan sejarah kolonial dalam pembagian kekuasaan adalah ragam potensialitas ancaman tersebut. Selain itu, Indonesia merupakan negara berkaki dua dimana satu kakinya berada di Asia dan satunya lagi berada di Pasifik yang secara geografis berada pada posisi sentral dari letak geografis negara-negara besar di kawasan Asia-Pasifik, yaitu Australia di selatan, Amerika Serikat di timur, Jepang dan Cina di utara serta India di barat. Semua ini sepatutnya menjadi acuan dalam menyikapi dinamika hubungan internasional di kawasan Asia-Pasifik.
Pasca lepasnya Timor Timur dari Indonesia yang membentuk negara sendiri, keinginan kuat yang sama hampir terjadi di beberapa daerah di Kawasan Timur Indonesia seperti Papua dan Maluku Selatan. Masalah ini kurang mendapatkan perhatian khusus dan tidak didukung oleh strategi nasional untuk mengatasi masalah yang timbul. Selain itu, Indonesia tidak menganggap Australia sebagai negara yang penting dalam kebijakan luar negerinya. Meskipun secara geografis bertetangga dan Australia memiliki posisi sebagai negara industri dan kekuatan menengah di kawasan Asia-Pasifik, akan tetapi kedudukan Australia dari segi kepentingan diplomasi nya berada di bawah tingkatan negara-negara anggota ASEAN. Dari segi kepentingan luar negeri Indonesia, posisi kedua setelah ASEAN ditempati oleh Amerika Serikat, kemudian Jepang dan Eropa Barat. Posisi Australia tidak dipandang dalam skala kebijakan luar negeri Indonesia sehingga luput dari perancangan politik luar negeri Indonesia.
 Selain itu, pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Luar Negeri khususnya kurang mempertimbangkan posisi, peran, dan pengaruh Australia di kawasan Oseania yang menjadi pemimpin, motivator dan penggerak negara-negara Kepulauan Pasifik dalam menyikapi setiap isu-isu lokal dan masalah Hak Asasi Manusia (Human Right) yang berkaitan dengan Papua, Maluku dan Timor yang suatu waktu bisa saja mendukung dan mengkampayekan masalah mereka atas nama Persaudaraan Melanesia guna mencapai persatuan Pan-Melanesia di bawah pengaruh kepentingan dan dominasi Australia. Kondisi ini, sekali lagi wajib dipertimbangkan pemerintah Indonesia dalam merumuskan arah dan strategi kebijakan luar negeri Indonesia terhadap negara-negara Kepulauan Pasifik dan terutama dalam hubungan diplomasi dan kerjasama dengan Australia sebagai pemegang kunci as kedaulatan NKRI di timur Nusantara.

Rabu, 30 Mei 2012

SUASANA PAGI DI LOSARI



Di ufuk timur mentari bersinar
Tersenyum menyapa dengan lebar
Pada warga kota yang tenar
Apa kareba Kota Makassar

*****

Derap deru langkah kaki
Bersemangat menyambut pagi
Warga kota di pagi hari
Minggu ceria yang ramai


Beragam etnis bercampur baur
Berjalan kaki maju-mundur
Turut pula penjual bubur
Sampai atraksi penjual obat manjur


Disini
Semua berbagi
Minggu pagi
Di Pantai Losari

*****


Mentari pun sepenggalah naik
Menyinarkan sinar dengan terik
Suasana kota sudah berisik
Deru mesin menyalak dengan panik


Semua orang bersiap pulang
Mengantrilah mereka dengan tenang
Raga lelah hati senang
Menikmati pagi di tepi Ujung Pandang

*****

 

Senin, 09 April 2012

BENTURAN KEPENTINGAN DALAM TATANAN MASYARAKAT TIMUR-TENGAH


#Muchtar Muin Mallarani


Berbicara mengenai Timur-Tengah akan membawa kita pada pemahaman tentang Dunia Arab, Islam, Perang Salib, Politik Minyak, Gurun Pasir, atau Kawasan Jantung Dunia yang mempertemukan tiga benua : Asia, Afrika, dan Eropa.

Sejarah dan perkembangan kawasan ini sebenarnya tidak hanya identik dengan Dunia Arab melainkan dibangun di atas tiga pondasi utama peradaban bangsa yang berlainan : Arab, Persia dan Turki.
Menengok kembali sejarah masa lalu, ketiga bangsa ini pernah mengalami kemajuan dari masa ke masa, dari zaman batu hingga zaman penemuan mesiu. Di Tanah Arab, dikenal peradaban Sumeria, Mesopotamia, Mediterania, hingga peradaban Mesir yang menghasilkan tinggalan-tinggalan peradaban yang menakjubkan. Di sebelah Timur lahir pearadaban Persia yang mencapai masa kejayaan pada zaman Nebukadnezer dengan Taman Gantung dan Hukum Hammurabinya. Di sebelah Utara lahir peradaban Turki yang mencapai masa kegemilangan bersama Islam di bawah panji Kekaisaran Ottoman Turki.

Dalam perjalanan sejarahnya semenjak munculnya Muhammad yang membawa ajaran Islam di pinggiran Laut Merah telah membawa perubahan besar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Arab. Ajaran Muhammad ini kemudian disebarluaskan oleh bangsa Arab melalui proses diaspora perdagangan dan budaya hingga menjangkau sampai ke wilayah Mediterania, Anatolia, Sahara, hingga Persia dan Kaukasia dan juga Melayu. Ajaran Muhammad inipun diterima oleh bangsa-bangsa tetangga Arab dan mencapai masa keemasan pada Kekhalifahan Usmaniyah di Turki.

Sejak runtuhnya Kekhalifahan Usmaniyah di Turki yang lebih akrab dikenal Turki Ottoman dan munculnya nasionalisme bangsa-bangsa di Timur Tengah: Arab, Persia dan Turki, Islam mengalami kemunduran hingga dalam perkembangannya mereka yang dulunya menyatu dalam payung Islam, kini bergerak sendiri-sendiri apalagi semenjak ditemukannya minyak bumi di beberapa wilayah di Timur-Tengah untuk tak lagi mengurusi agama malahan semakin menjauh dan lebih mendekatkan diri pada kehidupan duniawi dengan mengumpulkan dolar, hidup bermewah-mewahan dan lebih menjalin hubungan dengan para korporatokrasi asing ketimbang memikirkan agama, rakyat dan masa depan bangsanya dari ketinggalan peradaban Barat.

Kini, kawasan Tumur-Tengah tak pernah luput dari masalah yang menyeret kawasan ini sebagai kawasan yang paling rentan dan paling bergejolak di dunia. Selain itu, Arab, Persia, dan Turki berjalan tak seiring lagi. Mereka berjalan sendiri-sendiri. Persatuan Arab pun dipertanyakan terhadap upaya diplomasi kemerdekaan Palestina yang berlarut-larut. Turki yang dilematis, ia senantiasa menjauhkan diri dari Mekah dan lebih memilih menjadikan dirinya sebagai pribadi Eropa yang sebenarnya beraga Asia walaupun statusnya di Uni Eropa masih terombang-ambing oleh kebijaksanaan Brussel. 

Iran, yang dulu menjadi anak emas Amerika, kini telah berubah menjadi kekuatan tersendiri dan kian berwibawa di hadapan Barat dan bangga serta memiliki kepercayaan diri yang tinggi menatap dunia. Disinilah dapat kita simpulkan bahwa antara Arab, Persia dan Turki telah terjadi benturan kepentingan.

Sabtu, 07 April 2012

KESENDIRIAN DIRI

























Telaga hijau
Menemani jiwa yang galau
Di bawah rimbunan hutan Unhas nan hijau
Duduk termenung seorang perantau

Anging Mammiri datang membelai
Membisikkan jiwa dengan gemulai
Suasana danau kian ramai
Muda-mudi bercengkrama dengan santai

Sungguh aduhai panorama sore ini
Menjadi tempat persinggahan muda-mudi
Di bawah sinaran hangat mentari
Dimanjakan kicauran burung-burung memecah sunyi

Di sana mereka bercengkrama senang
Berbagi cerita sambil mengenang
Meletuslah tawa hati pun senang
Rasa galau hilang melayang

Di sini aku duduk menulis
Menjadi pengamat tersenyum manis
Memandang mereka duduk berbaris
Menjadi saksi kehidupan empiris

Tiba-tiba khayalan terbang
Melayang jauh ke belakang
Di saat pertama aku datang
Sebagai perantau dari negeri seberang

Bagaimana kabar studiku kini
Menjadi tanda tanya di hati sanubari
Di usia senja kata sanak-saudari
Sungguh jadi beban psikologi diri

Oh Tuhan dengarlah mereka
Yang menaruh hati dengan peka
Sebelum orang tua ku murka
Kemana hamba menaruh muka

Enam tahun kian mendekat
Lama ragaku mengasah bakat
Di Kota Makassar yang maju pesat
Sebagai pelajar yang taat

Demi masa ku lafaskan doa penuh rasa
Lapangkan jalanku dan berilah asa
Menjadi sarjana gagah perkasa
‘Tuk melanjutkan cipta karya dan karsa

*Tepi Danau Unhas
7/4/2012/St
Tamalanrea, Makassar

Kamis, 05 April 2012

SYAIR CINTA SENJA KALA













Ku ucap basmalah memulai cerita
Mengagungkan Asma-Mu dalam gulita
Bersujud pada-Mu berderai air mata
Melafazkan rindu mencurahkan derita

Malam berlalu gelap mengulum
Pagi datang Mentari tersenyum
Raga bangkit dunia pun mafhum
Ku sambut pagi dengan segelas air minum

Angin semilir berhembus di beranda
Rasa rindu datang melanda
Menghampiri sukma di dalam dada
Bagaimana kabarmu Engkau di sana
                     
                      *****

Seribu cerita telah kurajut
Suka datang duka menjemput
Senanglah hati mengadu rindu di atas rumput
Memandang telaga menghapus kalut

Aduhai Adinda Adikku sayang
Mengapa dirimu tak kunjung datang
Menemani Kakak di antara ilalang
Merajut kasih berbagi cerita dengan senang

Lelahlah raga jiwa pun gemetar
Jarum jarum turut bergetar
Dunia pun tak henti berputar
Hidup ini bagaikan senai gitar

Aduhai hidup penuh makna
Meniti kehidupan di alam fana
Berkhayal tinggi bagai fatamorgana
Apalah daya sejuta impian ditelan gerhana

                      *****

Pribadi Wanita memang sukar dipahami
Memecah nalar menembus ilusi
Masa mudanya kaya pilihan hati
Kelak hari barulah sadar akan arti

Wahai Wanita dengarlah ini
Masa mudamu tak selamanya menjadi
Sadarilah usia nampakkanlah keibuan diri
Karena darimulah tercipta manusia hebat gagah berani

Wahai Pria dengarlah ini
Wanita memang cobaan duniawi
Sedari dini hiduplah mandiri
Hadapi dunia dengan penuh jatidiri

                     *****

Ilalang pun bergoyang dibelai semilir
Burung berkicau sangatlah mahir
Menemani diriku di tepi air
Apalah daya Ku hanya mampu mengapresiasi dirimu dengan syair

Senja kala pun berlalu
Meninggalkan kesan seribu pilu
Aduhai Cinta bagai sembilu
Tuhan Kasih tegarkan Hamba selalu


Keheningan Subuh
Asrama Mahasiswa Unhas
Tamalanrea, Makassar
6/4/2012/Jt

Kamis, 22 Maret 2012

JEJAK SEJARAH INTERAKSI MAKASSAR – ABORIGIN

#Muchtar Muin Mallarani

Menyebut nama Aborigin dan Australia, biasanya kesan pertama yang muncul di pikiran orang awam adalah hubungannya dengan orang-orang putih atau Eropa. Sebelum kontak dengan pendatang-pendatang dari Eropa, kehidupan mereka disinyalir terisolir tanpa hubungan dengan bangsa lain. Anggapan Eropa itu adalah salah, karena hubungan orang-orang Aborigin dengan bangsa lain justru terjadi sebelum kontak dengan orang-orang Eropa. Ya, jauh sebelum kedatangan rombongan Kapten Phillip dari Kerajaan Britania di Eropa mendaratkan kapalnya di Teluk Botany, pelaut-pelaut Makassar dengan Kapal Pinisinya telah lama mendaratkan sauhnya di bumi Kangguru bahkan telah berinteraksi dengan penduduk setempat.

Kontak orang-orang Aborigin dengan orang-orang Makassar telah lama terjalin. Orang-orang Makassar tiba di benua Australia tidak untuk menjajah tetapi untuk kepentingan ekonomi. Mereka tiba tidak dengan pendapat bahwa bumi Australia ini kosong sehingga mereka mempunyai hak mutlak atasnya. Orang-orang Makassar menyadari bahwa mereka adalah tamu di bumi Aborigin sehingga konflik berdarah tidak pernah terjadi. Kondisi ini berbeda dengan Eropa. Bagi Aborigin, pertemuan dengan rombongan Kapten Phillip adalah suatu pengalaman yang asing. Suatu pengalaman yang sama sekali baru yang berawal dari suatu kecurigaan dan kemudian berubah menjadi konfrontasi fisik.
Kehadiran bangsa Makassar di Australia tentu mengundang banyak tanya. Mulai dari bagaimana mereka bisa sampai kesana, apa yang mendasari perjalanan mereka hingga sampai di benua paling selatan bumi ini, hingga bagaimana pola interaksi mereka dengan bangsa Aborigin semuanya akan dijelaskan dalam tulisan ini.

Teripang Conection

Bangsa Aborigin telah lama berhubungan dengan pelaut-pelaut Makassar jauh sebelum kedatangan rombongan Kapten Phillip dari Eropa. Kapan persisnya hubungan ini dimulai kurang jelas. Dalam buku karangan Macknight (1976) The Voyage to Marege, dia memperkirakan terjadi antara tahun 1650 sampai 1750. Masa itu adalah masa-masa kejayaan Kerajaan Makassar. Menurutnya, pelaut-pelaut dari Makassar ini berlayar ke Australia tepatnya di bagian Utara yang mereka namai Marege untuk mencari teripang yang nantinya mereka jual ke daratan Cina.

Sebelumnya, teripang ini tidak begitu terkenal, namun menurut para ahli ada relasi antara mulai dikenalnya teripang di daratan Cina dan munculnya pelaut-pelaut Makassar di Australia Utara.

Orang-orang Makassar biasanya memperhatikan siklus angin dan musim dalam pelayaran ke Australia. Mereka biasanya tiba sekitar bulan Desember dengan armada sekitar 30 sampai 60 perahu. Tiap perahu isinya sekitar 30 orang. Mereka biasanya mencari teripang selama empat sampai lima bulan dan baru kembali ke Makassar sekitar bulan April bersama angin tenggara. 

Mereka tidak menetap di Marege tetapi tinggal selama empat bulan setiap tahunnya. Orang-orang Makassar itu menukar hak memanen ketimun laut dengan aneka komoditi seperti pakaian, tembakau, pisau, beras dan alkohol dengan penduduk Aborigin, selain juga mempekerjakan laki-laki setempat. Selama periode itu mereka memanen teripang dengan menggunakan tombak bermata tiga kemudian merebus dengan menggunakan periuk di pantai, mendinginkan di pasir lalu mencucinya dengan air laut dan kemudian mengasap serta menjemurnya dibawah sinar Matahari.

Mereka kembali berlayar ke Makassar pada bulan April memanfaatkan angin monsoon membawa teripang kering itu untuk kemudian dijual ke China. Orang-orang China dari Canton (Guangzhou) dan Amoy (Xiamen) datang ke pelabuhan Makassar membawa komoditi porselen dan kemudian kembali ke negerinya membawa teripang. Pada pertengahan abad 19 diketahui orang Makassar membawa sekitar 900 ton teripang dari Marege yang merupakan sepertiga kebutuhan di China.

Sejarawan kurang yakin apakah perjalanan dimulai dari Makassar ke Marege (nama yang diberi Makassar untuk pantai utara Australia). Perdagangan teripang dari Makassar telah dimulai sekitar tahun 1720, meskipun beberapa penulis menyatakan perjalanan telah dimulai 300 tahun lebih awal (sekitar tahun 1400).

Perdagangan mulai merosot pada akhir abad ke-19 karena penetapan bea cukai oleh pemerintah Australia. Setelah penerapan undang-undang untuk melindungi "integritas wilayah" Australia, perahu Makassar terakhir meninggalkan Arnhem Land tahun 1906. Permintaan teripang juga menurun karena kekacauan di Cina pada masa itu.

Interaksi dan Akulturasi

Menurut Macknight, pengalaman orang-orang Makassar berhadapan dengan orang-orang Aborigin bagaikan ‘peradaban’ berhubungan dengan ‘keprimitifan’. Walaupun demikian, jumlah orang Makassar ketika bertemu dengan mereka selalu jauh lebih banyak dan juga tidak pernah tergantung pada mereka. Tujuan utama orang-orang Makassar adalah untuk mendapatkan teripang dan juga berdagang (barter) dengan orang-orang Aborigin. Dari pihak Makassar biasanya menukar barang-barang seperti pakaian, tembakau, pisau, makanan dan alkohol demi hak untuk menangkap ikan di perairan Aborigin. Mereka juga mempekerjakan penduduk asli. Sedangkan dari pihak Aborigin berupa kulit penyu dan kulit mutiara.

Menurut Macknight, orang-orang Makassar adalah pengamat yang tajam, mereka lambat laun dapat mengerti kebiasaan-kebiasaan dan tabiat penduduk asli Marege. Baik pihak Makassar maupun Aborigin saling mengenal satu sama lain hingga hubungan mereka terjalin dengan baik. Begitu lancer hubungan antara mereka sampai-sampai ada orang Aborigin yang berkunjung ke Makassar. Tahun 1824 ada 17 orang Aborigin yang datang ke Makassar. Orang Makassar pun biasanya mengambil wanita Aborigin sehingga tidak aneh kalau ada orang-orang campuran Aborigin dan Makassar di Australia Utara.

Hubungan Makassar dengan penduduk asli Australia masih diingat hingga kini, melalui sejarah lisan (lagu-lagu, tarian) dan lukisan-lukisan batu, dan juga melalui perubahan warisan budaya yang diakibatkan oleh hubungan ini.

Beberapa komunitas Yolngu di Arnhem land mengubah ekonomi mereka dari berbasis darat menjadi berbasis laut, karena masuknya teknologi Makassar seperti kano. Kapal-kapal yang mampu berlayar itu, tidak seperti kano tradisional, memungkinkan penangkapan dugong dan penyu di laut.

Beberapa pekerja Aborigin menemani orang Makassar kembali ke Sulawesi Selatan. Bahasa Makassar menjadi lingua franca di pantai utara, tidak hanya antara Makassar dengan penduduk Aborigin, tetapi juga antara suku-suku Aborigin yang berbeda. Kata dari bahasa Makassar masih dapat ditemui dalam bahasa-bahasa Aborigin di pantai utara; misalnya rupiah (uang), jama (kerja), dan balanda (orang kulit putih). Barang-barang yang diperdagangkan Makassar menyebar hingga ke selatan. Selain itu, kemungkinan Makassar telah membawa agama Islam ke Australia.

Tak mengherankan Bahasa Makassar menjadi bahasa umum yang dipakai orang-orang Aborigin di Marege untuk berinteraksi dan berkomunikasi termasuk dengan suku-suku Aborigin yang berbeda. Suku Yolngu, Iwaidja, penduduk pulau Tiwi, pulau Elcho dan selat Tores telah menyerap kata-kata seperti rupiah (uang), jama (kerja), atau balanda (orang kulit putih). Mereka juga mengadopsi teknologi perahu lepa-lepa yang mereka namakan Lipalipa.

Kunjungan mereka telah memberikan pengaruh bagi penduduk Australia Utara dalam bahasa, seni, ekonomi, dan bahkan genetik keturunan Makassar dan Australia. Peninggalan yang tersisa dari sejarah hubungan orang Makassar dan benua Australia ini diantaranya adalah pohon-pohon asam jawa, koin-koin VOC, porselen China, serta periuk untuk merebus teripang selain juga beberapa keturunannya di Australia Utara.

Sumber Data:
MacKnight, CC. (1976). The Voyage to Marege: Macassan Trepangers in Northern Australia. Melbourne University Press
Philips Kitley, dkk. 1989. Australia di Mata Indonesia: Kumpulan Artikel Pers Indonesia 1973-1988. Jakarta: PT Gramedia
Ratih Hardjono.1992. Suku Putihnya Asia: Perjalanan Australia Mencari Jati Dirinya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Sumber Gambar:

Minggu, 08 Januari 2012

MEMBAYANGKAN SOSOK NEGERIKU

 “Untuk Ayahanda Presiden di Istana Cinta”
Melalui tulisan ini, aku ingin mencurahkan secuil gagasan sekaligus harapan besar ananda bagi masa depan Nusa dan Bangsa: Indonesia.

Ketika aku membayangkan sosok negeriku, aku selalu mengenang kejayaan masa lalunya sebagai pelajaran berharga untuk masa depan. Peradabannya yang menakjubkan. Kebudayaannya yang mengagumkan. Manusianya yang hebat ditambah dengan sosok pemimpinnya yang bijaksana lagi berwibawa. Aku senantiasa berkontemplasi seraya mencoba menemukan jati dirinya. Sering pula meneteskan air mata bila bait-bait lagu ‘Indonesia Tanah Air Beta’ berdengung di telinga.

“Indonesia tanah air Beta.
Pusaka abadi nan jaya.
Indonesia sejak dulu kala.
Selalu di puja-puja bangsa”

Mengapa kita tidak bangga! Mengapa kita tidak sadari! Mengapa kita tidak bangkit!

Bukankah negeri kita ‘Hindia’ menjadi incaran semua bangsa di era Renaisanse dan penemuan Perahu Layar di Eropa untuk menemukan ‘Negeri Rempah-rempah’ itu?
Bukankah negeri kita ‘Nusantara’ negeri yang dijuluki ‘Gemah Ripah Loh Jinawi’?
Bukankah negeri kita ‘Indonesia’ negeri yang dijuluki ‘Zamrud Khatulistiwa’?

Tidakkah kita bangga dan mengagumi toleransi dalam interaksi sosial manusianya yang melahirkan akulturasi dalam budayanya hingga menghasilkan peradaban yang menakjubkan. Tidakkah kita bercermin pada kewibawaan pemimpinnya yang bijaksana, cerdas dan mampu menggerakkan semua rakyatnya patuh dan berikrar setia pada pemimpinnya.

Lihatlah! Budaya Hindu dan Budha dari India bisa diterima dengan baik hingga menjadikan Nusantara tempat berpijak Ajaran ini dari zaman kejayaan Syailendra, Sriwijaya, Mataram bahkan hingga sekarang. Peradabannya menghasilkan Candi Prambanan dan Borobudur yang menakjubkan dan pemerintahannya mampu menyatukan persada Nusantara.

Ketika ajaran Islam dari semenanjung Arabia diterima dengan baik, pemimpinnya menyerukan rakyatnya untuk mempelajarinya hingga menjadikan tanah pertiwi sebagai Negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia sekarang.

Ayahanda Presiden di Istana Cinta, renungan di atas semestinya diambil hikmahnya untuk menjadi pelajaran bagi kita semua, generasi penerus bangsa, pewaris tahta Republik di masa depan. Sudah seharusnya kita bersatu padu untuk mengkonsolidasikan arah masa depan bangsa. Walau beragam ide dan kepentingan namun tetaplah bersatu dalam gerak langkah demi masa depan bangsa.

Ayahanda Presiden di Istana Cinta, aku ingin negeriku seperti Administrasi Orde Baru. Pembangunan berjalan sistematis dan berkelanjutan. Konsolidasi politik yang refresentatif. Stabilitas ketertiban masyarakat dan keamanan negara yang kuat. Toleransi dan kerukunan bermasyarakat dan bernegara terjalin dengan baik sehingga membuat negara kita disegani dan terpandang di mata dunia. Aku ingin semangat itu kembali.

Kamis, 05 Januari 2012

DIASPORA GLOBALISASI DAN MISI LIBERALISASI

#Muchtar Muin Mallarani
Globalisasi, suka atau tidak suka telah terjadi secara kontinyu dan telah mempunyai akibat yang signifikan pada berbagai negara di belahan-belahan bumi yang berbeda. Ibarat sebuah komunitas masyarakat atau bangsa yang tercerai-berai dan kemudian tersebar ke berbagai penjuru dunia dan bangsa tersebut tidak memiliki negara.
Globalisasi bukanlah negara, bukan pula sebuah organisasi dunia. Ia ibaratnya sebuah bangsa yang tercerai-berai dan menyebar ke berbagai penjuru dunia dan bangsa tersebut tidak memiliki negara. Globalisasi tak ubahnya sebagai sebuah bangsa yang melakukan proses diaspora.
Selama berlangsungnya Perang Dingin hingga kemenangan liberal-kapitalis yang menyudahinya di akhir abad 20 adalah masa-masa dimana globalisasi berdiaspora.

Memaknai Diaspora Globalisasi

Dalam aplikasinya, globalisasi bisa diartikan berbeda-beda bagi banyak orang. Schalte, mengidentifikasi bahwa globalisasi bisa bermakna sebagai internasionalisasi, liberalisasi, universalisasi, westernisasi dan teritorialisasi.
Terlepas dari pemaknaan spesifik globalisasi, terdapat empat ciri dasar dari konsep globalis, yaitu: Pertama, meluasnya hubungan sosial (stretched social relations). Kedua, meningkatnya intensitas komunikasi (intensification of flows). Ketiga, meningkatnya interpenetrasi (increasing interpenetration) dan Keempat, munculnya infrastruktur global (globe infrastructure).  
 Terdapat berbagai momentum penting yang membentuk apa yang sekarang kita kenal sebagai globalisasi. Kejadian-kejadian penting yang dimaksud disini adalah dibentuknya GATT (General Agreements on Tariff and Trade) pada tahun 1948, runtuhnya Tembok Berlin dan Uni Soviet pada akhir 1980-an, persyaratan Good Governance oleh World Bank bagi pengakhiran utang pada tahun 1990-an dan penyerangan WTC (World Trade Centre) serta Pentagon pada tahun 2001.
Melalui GATT yang kemudian beralih menjadi WTO (World Trade Organizations) pada tahun 1994/1995, globalisasi ekonomi dicanangkan secara global dan telah dikampanyekan secara terus-menerus oleh organisasi ini.   
Globalisasi telah mampu berdiaspora ke seluruh penjuru dunia. Dari masyarakat maju berperadaban tinggi, masyarakat berkembang hingga menjangkau masyarakat terpencil tradisionalistik. Proses diaspora ini setidaknya membawa tiga unsur utama dalam misinya ke berbagai belahan bumi, yaitu: ekonomi, politik dan kemajuan teknologi utamanya informasi dan komunikasi serta transportasi.
Di bidang ekonomi, mereka memaksakan liberalisasi ekonomi. Di bidang politik, mereka mengkampanyekan demokrasi dan teknologi mengenalkannya pada dunia tanpa batas hingga kedaulatan negara pun seakan tak dihiraukan lagi.

Liberalisasi Ekonomi

Liberalisasi ekonomi mengacu terutama pada pemikiran Adam Smith. Pemikiran ini memandang perekonomian harus dipisahkan dari politik dimana dalam pemikiran ini tindakan-tindakan ekonomi tidak seharusnya dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan politik. Dengan sendirinya, pelaku-pelaku ekonomi bukanlah negara melainkan individu dalam bentuk perusahaan swasta.
Liberalisasi ekonomi lebih mengacu pada terbuka tidaknya suatu perekonomian suatu negara terhadap pelaku asing. Negara dapat memilih untuk membuka perekonomiannya terhadap pelaku asing atau menutupnya sehingga hanya pelaku domestik yang ada di pasar.
Negara dapat berperan positif dengan mengambil berbagai bentuk dalam merekayasa perekonomian domestik. Peran tersebut diberlakukan dalam tingkatan-tingkatan liberalisasi ekonomi yang berbeda dari satu pihak dan dalam kesiapan ekonomi yang tertentu pula. Liberalisasi ekonomi penuh yang dilakukan dalam ketidaksiapan perekonomian suatu negara tentunya akan berakibat negatif terhadap kondisi domestik.
Peran negara tertentu dalam tingkat liberalisasi ekonomi dan kesiapan ekonomi suatu negara akan menentukan hasil dari interaksi negara dengan masyarakat (terutama pengusaha).

Cerita Sukses Dari Timur

Dalam proses diaspora globalisasi, ada negara yang menyetujui dan kemudian menerapkannya, namun ada pula yang menolaknya. Ekspansi liberalisasi ekonomi dalam lingkup global telah memberikan akibat yang berbeda pada berbagai negara. Ada negara yang berhasil mengambil manfaat dari gejala ini dan berhasil mengadakan penyesuaian yang relatif mulus, namun ada pula yang mengalami perubahan-perubahan radikal sehingga harus “jungkir-balik” dalam prosesnya.
Cerita sukses Asia Timur setidaknya membawa angin segar perluasan liberalisasi ekonomi. Kemajuan pesat ekonomi Jepang secara signifikan sejak tahun 1980-an dapat dikatakan telah mampu menyamai bahkan boleh dikata melampaui Amerika Serikat selaku negara super power. Jepang telah berhasil “menunggangi” arus besar globalisasi dan menggunakannya sehingga dapat tumbuh menjadi kekuatan ekonomi dalam lingkup regional dan global.
Keberhasilan Jepang tak lama kemudian diikuti dengan munculnya NICs (Newly Industrialized Countries) Asia Timur: Korea Selatan, Taiwan, (dulu) Hong Kong dan Singapura (yang terletak di Asia Tenggara namun diidentifikasikan sebagai Asia Timur karena kemiripan etnisnya). NICs Asia Timur berhasil memanfaatkan gejala globalisasi ekonomi liberal dalam konteks bipolar untuk mendapatkan akses pasar negara-negara Barat dalam memajukan perekonomiannya secara menakjubkan.
NICs Asia Timur telah berhasil “menunggangi” dua arus besar global: relokasi industri 1960-an dan perebutan pengaruh pada masa Perang Dingin 1970-1980-an.
Namun, cerita sukses diaspora globalisasi di Asia Timur tidak seindah dengan yang terjadi di Amerila Latin. Beberapa pihak telah menunjukkan perlawanan terhadap paksaan liberalisasi ekonomi termasuk di lembaga perdagangan bebas dan di tingkat negara. Di WTO, pembentukan G-33 oleh negara-negara berkembang merupakan bentuk perlawanan di dalam lembaga ekonomi kapitalis global. Di tingkat negara, perlawanan ini ditunjukkan oleh Hugo Chaves dari Venezuela dan Evo Morales dari Bolivia. Tindakan Chaves melawan dominasi MNC (Multi National Corporation) melalui kebijakan populisnya dan Morales yang menasionalisasi perusahaan minyak. 
Chaves dan Morales menunjukkan tidak berlakunya skema Comprador Economy dimana terjadi kolaborasi kontra-produktif yang melibatkan kapitalis asing dengan pemerintah yang korup dan kapitalis lokal dalam mengeksploitasi kekayaan negara dengan memperbudak masyarakat.

Liberalisasi dan Pilihan Negara

Globalisasi kontemporer dapat diartikan sebagai perluasan arus besar liberalisasi ekonomi dan demokratisasi secara global.
Negara berkembang dalam dunia modern memang harus berubah untuk dapat ikut mengambil manfaat dari sistem ekonomi global yang dibangun berdasarkan pilar-pilar liberalisasi ekonomi, namun prosesnya perlu dilakukan secara rasional dan dilandasi dengan percaya diri, tidak secara tergesa-gesa dan serampangan.
Negara dapat memilih untuk memberlakukan atau tidak memberlakukan liberalisasi (keterbukaan) ekonomi. Negara yang memilih menutup perekonomiannya tentunya harus yakin bahwa segala kebutuhan ekonominya, barang dan jasa telah dan akan dapat dipenuhi oleh pelaku-pelaku bisnis domestik. Apabila negara tidak merasa yakin atas hal di atas, pilihan tentunya bergeser pada pembukaan ekonomi negara. Kedua hal ini tentunya mempunyai manfaat dan targetnya masing-masing.
Nah, sekarang tibalah giliran Anda untuk mencoba menimbang-nimbang dan memproyeksi dimana negara Anda berada dalam proses diaspora globalisasi yang membawa misi liberalisasi sebagai tujuan utamanya :)

***