Rabu, 28 September 2011

KONFLIK SUMBER DAYA ALAM DI AFRIKA


Muchtar Muin Mallarani

Afrika penuh dengan kontras tajam, baik dari segi politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Namun dibaliknya, Afrika menyimpan beragam kekayaan alam yang melimpah. Dari kekayaan alam yang dimilikinya inilah yang tak segan-segan menjadi taruhan banyak Negara yang banyak menyulut konflik; baik itu yang berskala internal, antar Negara, dalam skala regional/kawasan, maupun menyeret Negara-negara yang jauh dari Afrika.

Menurut Ernie Regehr, sampai menjelang akhir abad ke-20, 40% dari seluruh konflik di dunia terjadi di Afrika, sedangkan 43% Negara di Afrika pernah dilanda peperangan. Wallensten dan Sollenberg menemukan bahwa antara 1989 sampai 1998, 41% konflik di dunia berlangsung di Afrika. Perlu dicatat bahwa mayoritas konflik di Afrika merupakan internal conflict dalam wilayah suatu Negara. Namun, konflik-konflik tersebut berdampak pada Negara-negara tetangga. Di pihak lain, konflik yang terjadi dipengaruhi faktor eksternal dan regional.

Beberapa konflik yang menyeret antar Negara-negara Afrika maupun Negara luar Afrika adalah karena kepentingan dan perebutan sumber daya alam, utamanya barang tambang. Konflik Sahara Barat tidak hanya berkaitan dengan penentuan nasib sendiri tetapi kontrol terhadap sumber fosfat telah menyulut perselisihan Negara-negara Maghribi, khususnya Maroko, Aljazair, dan Mauritania. Pada 1957, suatu invasi Maroko terhadap Sahara dipukul mundur oleh Spanyol dan pada 1963, sesudah kemerdekaan Aljazair, suatu invasi singkat Maroko terhadap Tindouf yang kaya akan biji besi juga dapat dipukul mundur. Namun demikian, perhatian Maroko terhadap Sahara Spanyol bertambah besar pada 1965 sewaktu sumber-sumber fosfat yang besar ditemukan di Bu Craa dan satu ladang pengolahannya serta jalan menuju El Ainun dibangun. Selama lima tahun berikutnya, Maroko melakukan pendekatan yang konsiliatori yang nampaknya memperkuat posisinya.

Karena Afrika adalah benua yang paling tidak dimengerti maka Afrika juga menjadi benua yang paling mudah diabaikan. Akibatnya, ia rentan terhadap penjarahan. Ini bukan karena Negara-negara Afrika itu tidak penting bagi Negara lain. Negara sekelas Amerika Serikat (AS) pun memantapkan dominasinya di benua ini karena tergiur sumber daya alamnya, utamanya minyak. Niger adalah pemasok terbesar kelima minyak AS, Angola yang keenam, dan Gabon yang kesepuluh. Dominasi AS pun kian kuat dengan kehadiran para korporatokrasi yang ‘menjarah’ perut Afrika. Tak heran, bila para Bandit Ekonomi dan Jakal (Pembunuh Bayaran Negara) dari AS diturunkan untuk memuluskan negosiasi, bahkan bila negosiasi terhambat, upaya kudeta bahkan pembunuhan kepala Negara pun ditunaikan demi menancapkan dominasinya. Peran AS dalam pembunuhan Patrice Lumumba di Kongo serta dukungan penuh AS kepada para diktator Afrika: Jonas Savimbi di Angola, Mobutu Sese Seko dan Laurent Kabila di Kongo, Abacha dan Olusegun Obasanjo di Nigeria, Samuel Doe di Liberia, sebagaimana juga kekejaman di Rwanda, Sudan dan Liberia.

Setelah pembunuhan Patrice Lumumba, Jenderal Mobutu Sese Seko, kesayangan AS seamasa Perang Dingin memimpin Kongo dengan otoriter, paling keji, korup, dan sangat mengganggu Negara tetangganya. Akibat tindakannya itu, Rwanda dan Uganda –tetangganya- mengirim pasukan memasuki Kongo, menggulingkan Mobutu lalu menggantinya dengan Kabila yang ternyata sama buruknya. Uganda dan Rwanda menginvasi lagi pada 1998, enam Negara lain, yang melihat invasi ini sebagai kesempatan untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya Kongo, bergabung dengan peristiwa yang dikenal sebagai Perang Dunia Pertama Afrika.

Konflik etnik, budaya dan suku ikut berperan dalam peperangan itu, namun yang terutama adalah perebutan sumber daya.  Menurut TIME: “tanah Kongo padat dengan intan, emas, tembaga, uranium dan tantalum (digunakan dalam barang-barang elektronik seperti telepon seluler dan komputer jinjing).” Negara Kongo sangat luas dan di banyak tempatnya tertutup oleh hutan tropis yang lebat dan daerah pertanian yang subur.

Tanpa tantalum Kongo, AS tidak akan memiliki banyak produk berbasis komputer. Kelompok-kelompok milisi Rwanda dan Uganda mungkin saja membenarkan invasi dengan alasan bahwa mereka melindungi rakyatnya dari para pemberontak, tetapi mereka juga memperoleh miliyaran dolar dari tantalum yang mereka kumpulkan dan selundupkan lewat perbatasan selama peperangan ini.*****    

Tidak ada komentar: