Kamis, 05 Januari 2012

DIASPORA GLOBALISASI DAN MISI LIBERALISASI

#Muchtar Muin Mallarani
Globalisasi, suka atau tidak suka telah terjadi secara kontinyu dan telah mempunyai akibat yang signifikan pada berbagai negara di belahan-belahan bumi yang berbeda. Ibarat sebuah komunitas masyarakat atau bangsa yang tercerai-berai dan kemudian tersebar ke berbagai penjuru dunia dan bangsa tersebut tidak memiliki negara.
Globalisasi bukanlah negara, bukan pula sebuah organisasi dunia. Ia ibaratnya sebuah bangsa yang tercerai-berai dan menyebar ke berbagai penjuru dunia dan bangsa tersebut tidak memiliki negara. Globalisasi tak ubahnya sebagai sebuah bangsa yang melakukan proses diaspora.
Selama berlangsungnya Perang Dingin hingga kemenangan liberal-kapitalis yang menyudahinya di akhir abad 20 adalah masa-masa dimana globalisasi berdiaspora.

Memaknai Diaspora Globalisasi

Dalam aplikasinya, globalisasi bisa diartikan berbeda-beda bagi banyak orang. Schalte, mengidentifikasi bahwa globalisasi bisa bermakna sebagai internasionalisasi, liberalisasi, universalisasi, westernisasi dan teritorialisasi.
Terlepas dari pemaknaan spesifik globalisasi, terdapat empat ciri dasar dari konsep globalis, yaitu: Pertama, meluasnya hubungan sosial (stretched social relations). Kedua, meningkatnya intensitas komunikasi (intensification of flows). Ketiga, meningkatnya interpenetrasi (increasing interpenetration) dan Keempat, munculnya infrastruktur global (globe infrastructure).  
 Terdapat berbagai momentum penting yang membentuk apa yang sekarang kita kenal sebagai globalisasi. Kejadian-kejadian penting yang dimaksud disini adalah dibentuknya GATT (General Agreements on Tariff and Trade) pada tahun 1948, runtuhnya Tembok Berlin dan Uni Soviet pada akhir 1980-an, persyaratan Good Governance oleh World Bank bagi pengakhiran utang pada tahun 1990-an dan penyerangan WTC (World Trade Centre) serta Pentagon pada tahun 2001.
Melalui GATT yang kemudian beralih menjadi WTO (World Trade Organizations) pada tahun 1994/1995, globalisasi ekonomi dicanangkan secara global dan telah dikampanyekan secara terus-menerus oleh organisasi ini.   
Globalisasi telah mampu berdiaspora ke seluruh penjuru dunia. Dari masyarakat maju berperadaban tinggi, masyarakat berkembang hingga menjangkau masyarakat terpencil tradisionalistik. Proses diaspora ini setidaknya membawa tiga unsur utama dalam misinya ke berbagai belahan bumi, yaitu: ekonomi, politik dan kemajuan teknologi utamanya informasi dan komunikasi serta transportasi.
Di bidang ekonomi, mereka memaksakan liberalisasi ekonomi. Di bidang politik, mereka mengkampanyekan demokrasi dan teknologi mengenalkannya pada dunia tanpa batas hingga kedaulatan negara pun seakan tak dihiraukan lagi.

Liberalisasi Ekonomi

Liberalisasi ekonomi mengacu terutama pada pemikiran Adam Smith. Pemikiran ini memandang perekonomian harus dipisahkan dari politik dimana dalam pemikiran ini tindakan-tindakan ekonomi tidak seharusnya dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan politik. Dengan sendirinya, pelaku-pelaku ekonomi bukanlah negara melainkan individu dalam bentuk perusahaan swasta.
Liberalisasi ekonomi lebih mengacu pada terbuka tidaknya suatu perekonomian suatu negara terhadap pelaku asing. Negara dapat memilih untuk membuka perekonomiannya terhadap pelaku asing atau menutupnya sehingga hanya pelaku domestik yang ada di pasar.
Negara dapat berperan positif dengan mengambil berbagai bentuk dalam merekayasa perekonomian domestik. Peran tersebut diberlakukan dalam tingkatan-tingkatan liberalisasi ekonomi yang berbeda dari satu pihak dan dalam kesiapan ekonomi yang tertentu pula. Liberalisasi ekonomi penuh yang dilakukan dalam ketidaksiapan perekonomian suatu negara tentunya akan berakibat negatif terhadap kondisi domestik.
Peran negara tertentu dalam tingkat liberalisasi ekonomi dan kesiapan ekonomi suatu negara akan menentukan hasil dari interaksi negara dengan masyarakat (terutama pengusaha).

Cerita Sukses Dari Timur

Dalam proses diaspora globalisasi, ada negara yang menyetujui dan kemudian menerapkannya, namun ada pula yang menolaknya. Ekspansi liberalisasi ekonomi dalam lingkup global telah memberikan akibat yang berbeda pada berbagai negara. Ada negara yang berhasil mengambil manfaat dari gejala ini dan berhasil mengadakan penyesuaian yang relatif mulus, namun ada pula yang mengalami perubahan-perubahan radikal sehingga harus “jungkir-balik” dalam prosesnya.
Cerita sukses Asia Timur setidaknya membawa angin segar perluasan liberalisasi ekonomi. Kemajuan pesat ekonomi Jepang secara signifikan sejak tahun 1980-an dapat dikatakan telah mampu menyamai bahkan boleh dikata melampaui Amerika Serikat selaku negara super power. Jepang telah berhasil “menunggangi” arus besar globalisasi dan menggunakannya sehingga dapat tumbuh menjadi kekuatan ekonomi dalam lingkup regional dan global.
Keberhasilan Jepang tak lama kemudian diikuti dengan munculnya NICs (Newly Industrialized Countries) Asia Timur: Korea Selatan, Taiwan, (dulu) Hong Kong dan Singapura (yang terletak di Asia Tenggara namun diidentifikasikan sebagai Asia Timur karena kemiripan etnisnya). NICs Asia Timur berhasil memanfaatkan gejala globalisasi ekonomi liberal dalam konteks bipolar untuk mendapatkan akses pasar negara-negara Barat dalam memajukan perekonomiannya secara menakjubkan.
NICs Asia Timur telah berhasil “menunggangi” dua arus besar global: relokasi industri 1960-an dan perebutan pengaruh pada masa Perang Dingin 1970-1980-an.
Namun, cerita sukses diaspora globalisasi di Asia Timur tidak seindah dengan yang terjadi di Amerila Latin. Beberapa pihak telah menunjukkan perlawanan terhadap paksaan liberalisasi ekonomi termasuk di lembaga perdagangan bebas dan di tingkat negara. Di WTO, pembentukan G-33 oleh negara-negara berkembang merupakan bentuk perlawanan di dalam lembaga ekonomi kapitalis global. Di tingkat negara, perlawanan ini ditunjukkan oleh Hugo Chaves dari Venezuela dan Evo Morales dari Bolivia. Tindakan Chaves melawan dominasi MNC (Multi National Corporation) melalui kebijakan populisnya dan Morales yang menasionalisasi perusahaan minyak. 
Chaves dan Morales menunjukkan tidak berlakunya skema Comprador Economy dimana terjadi kolaborasi kontra-produktif yang melibatkan kapitalis asing dengan pemerintah yang korup dan kapitalis lokal dalam mengeksploitasi kekayaan negara dengan memperbudak masyarakat.

Liberalisasi dan Pilihan Negara

Globalisasi kontemporer dapat diartikan sebagai perluasan arus besar liberalisasi ekonomi dan demokratisasi secara global.
Negara berkembang dalam dunia modern memang harus berubah untuk dapat ikut mengambil manfaat dari sistem ekonomi global yang dibangun berdasarkan pilar-pilar liberalisasi ekonomi, namun prosesnya perlu dilakukan secara rasional dan dilandasi dengan percaya diri, tidak secara tergesa-gesa dan serampangan.
Negara dapat memilih untuk memberlakukan atau tidak memberlakukan liberalisasi (keterbukaan) ekonomi. Negara yang memilih menutup perekonomiannya tentunya harus yakin bahwa segala kebutuhan ekonominya, barang dan jasa telah dan akan dapat dipenuhi oleh pelaku-pelaku bisnis domestik. Apabila negara tidak merasa yakin atas hal di atas, pilihan tentunya bergeser pada pembukaan ekonomi negara. Kedua hal ini tentunya mempunyai manfaat dan targetnya masing-masing.
Nah, sekarang tibalah giliran Anda untuk mencoba menimbang-nimbang dan memproyeksi dimana negara Anda berada dalam proses diaspora globalisasi yang membawa misi liberalisasi sebagai tujuan utamanya :)

***

Tidak ada komentar: