#Muchtar Muin Mallarani
Globalisasi, suka atau tidak suka telah
terjadi secara kontinyu dan telah mempunyai akibat yang signifikan pada
berbagai negara di belahan-belahan bumi yang berbeda. Ibarat sebuah komunitas
masyarakat atau bangsa yang tercerai-berai dan kemudian tersebar ke berbagai
penjuru dunia dan bangsa tersebut tidak memiliki negara.
Globalisasi bukanlah negara, bukan pula
sebuah organisasi dunia. Ia ibaratnya sebuah bangsa yang tercerai-berai dan
menyebar ke berbagai penjuru dunia dan bangsa tersebut tidak memiliki negara. Globalisasi
tak ubahnya sebagai sebuah bangsa yang melakukan proses diaspora.
Selama berlangsungnya Perang Dingin
hingga kemenangan liberal-kapitalis yang menyudahinya di akhir abad 20 adalah
masa-masa dimana globalisasi berdiaspora.
Memaknai Diaspora Globalisasi
Dalam aplikasinya, globalisasi bisa diartikan
berbeda-beda bagi banyak orang. Schalte, mengidentifikasi bahwa globalisasi
bisa bermakna sebagai internasionalisasi, liberalisasi, universalisasi,
westernisasi dan teritorialisasi.
Terlepas dari pemaknaan spesifik
globalisasi, terdapat empat ciri dasar dari konsep globalis, yaitu: Pertama, meluasnya hubungan sosial (stretched social relations). Kedua, meningkatnya intensitas
komunikasi (intensification of flows).
Ketiga, meningkatnya interpenetrasi (increasing interpenetration) dan Keempat, munculnya infrastruktur global
(globe infrastructure).
Terdapat berbagai momentum penting yang
membentuk apa yang sekarang kita kenal sebagai globalisasi. Kejadian-kejadian
penting yang dimaksud disini adalah dibentuknya GATT (General Agreements on Tariff and Trade) pada tahun 1948, runtuhnya
Tembok Berlin dan Uni Soviet pada akhir 1980-an, persyaratan Good Governance oleh World Bank bagi pengakhiran utang pada
tahun 1990-an dan penyerangan WTC (World
Trade Centre) serta Pentagon pada tahun 2001.
Melalui GATT yang kemudian beralih
menjadi WTO (World Trade Organizations)
pada tahun 1994/1995, globalisasi ekonomi dicanangkan secara global dan telah
dikampanyekan secara terus-menerus oleh organisasi ini.
Globalisasi telah mampu berdiaspora ke
seluruh penjuru dunia. Dari masyarakat maju berperadaban tinggi, masyarakat
berkembang hingga menjangkau masyarakat terpencil tradisionalistik. Proses diaspora
ini setidaknya membawa tiga unsur utama dalam misinya ke berbagai belahan bumi,
yaitu: ekonomi, politik dan kemajuan teknologi utamanya informasi dan
komunikasi serta transportasi.
Di bidang ekonomi, mereka memaksakan
liberalisasi ekonomi. Di bidang politik, mereka mengkampanyekan demokrasi dan
teknologi mengenalkannya pada dunia tanpa batas hingga kedaulatan negara pun
seakan tak dihiraukan lagi.
Liberalisasi Ekonomi
Liberalisasi ekonomi mengacu terutama
pada pemikiran Adam Smith. Pemikiran ini memandang perekonomian harus
dipisahkan dari politik dimana dalam pemikiran ini tindakan-tindakan ekonomi
tidak seharusnya dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan politik. Dengan sendirinya,
pelaku-pelaku ekonomi bukanlah negara melainkan individu dalam bentuk
perusahaan swasta.
Liberalisasi ekonomi lebih mengacu pada
terbuka tidaknya suatu perekonomian suatu negara terhadap pelaku asing. Negara dapat
memilih untuk membuka perekonomiannya terhadap pelaku asing atau menutupnya
sehingga hanya pelaku domestik yang ada di pasar.
Negara dapat berperan
positif dengan mengambil berbagai bentuk dalam merekayasa perekonomian
domestik. Peran tersebut diberlakukan dalam tingkatan-tingkatan liberalisasi
ekonomi yang berbeda dari satu pihak dan dalam kesiapan ekonomi yang tertentu
pula. Liberalisasi ekonomi penuh yang dilakukan dalam ketidaksiapan
perekonomian suatu negara tentunya akan berakibat negatif terhadap kondisi
domestik.
Peran negara tertentu
dalam tingkat liberalisasi ekonomi dan kesiapan ekonomi suatu negara akan
menentukan hasil dari interaksi negara dengan masyarakat (terutama pengusaha).
Cerita Sukses Dari
Timur
Dalam proses diaspora globalisasi, ada
negara yang menyetujui dan kemudian menerapkannya, namun ada pula yang
menolaknya. Ekspansi liberalisasi ekonomi dalam lingkup global telah memberikan
akibat yang berbeda pada berbagai negara. Ada negara yang berhasil mengambil
manfaat dari gejala ini dan berhasil mengadakan penyesuaian yang relatif mulus,
namun ada pula yang mengalami perubahan-perubahan radikal sehingga harus “jungkir-balik”
dalam prosesnya.
Cerita sukses Asia Timur setidaknya
membawa angin segar perluasan liberalisasi ekonomi. Kemajuan pesat ekonomi
Jepang secara signifikan sejak tahun 1980-an dapat dikatakan telah mampu
menyamai bahkan boleh dikata melampaui Amerika Serikat selaku negara super power. Jepang telah berhasil “menunggangi”
arus besar globalisasi dan menggunakannya sehingga dapat tumbuh menjadi
kekuatan ekonomi dalam lingkup regional dan global.
Keberhasilan Jepang tak lama kemudian
diikuti dengan munculnya NICs (Newly
Industrialized Countries) Asia Timur: Korea Selatan, Taiwan, (dulu) Hong
Kong dan Singapura (yang terletak di Asia
Tenggara namun diidentifikasikan sebagai Asia Timur karena kemiripan etnisnya).
NICs Asia Timur berhasil memanfaatkan gejala globalisasi ekonomi liberal dalam
konteks bipolar untuk mendapatkan akses pasar negara-negara Barat dalam
memajukan perekonomiannya secara menakjubkan.
NICs Asia Timur telah berhasil “menunggangi”
dua arus besar global: relokasi industri 1960-an dan perebutan pengaruh pada
masa Perang Dingin 1970-1980-an.
Namun, cerita sukses diaspora
globalisasi di Asia Timur tidak seindah dengan yang terjadi di Amerila Latin. Beberapa
pihak telah menunjukkan perlawanan terhadap paksaan liberalisasi ekonomi
termasuk di lembaga perdagangan bebas dan di tingkat negara. Di WTO,
pembentukan G-33 oleh negara-negara berkembang merupakan bentuk perlawanan di
dalam lembaga ekonomi kapitalis global. Di tingkat negara, perlawanan ini
ditunjukkan oleh Hugo Chaves dari Venezuela dan Evo Morales dari Bolivia.
Tindakan Chaves melawan dominasi MNC (Multi
National Corporation) melalui kebijakan populisnya dan Morales yang
menasionalisasi perusahaan minyak.
Chaves dan Morales menunjukkan tidak
berlakunya skema Comprador Economy
dimana terjadi kolaborasi kontra-produktif yang melibatkan kapitalis asing
dengan pemerintah yang korup dan kapitalis lokal dalam mengeksploitasi kekayaan
negara dengan memperbudak masyarakat.
Liberalisasi dan
Pilihan Negara
Globalisasi kontemporer dapat diartikan
sebagai perluasan arus besar liberalisasi ekonomi dan demokratisasi secara
global.
Negara berkembang dalam dunia modern
memang harus berubah untuk dapat ikut mengambil manfaat dari sistem ekonomi
global yang dibangun berdasarkan pilar-pilar liberalisasi ekonomi, namun
prosesnya perlu dilakukan secara rasional dan dilandasi dengan percaya diri,
tidak secara tergesa-gesa dan serampangan.
Negara dapat memilih untuk memberlakukan
atau tidak memberlakukan liberalisasi (keterbukaan) ekonomi. Negara yang
memilih menutup perekonomiannya tentunya harus yakin bahwa segala kebutuhan
ekonominya, barang dan jasa telah dan akan dapat dipenuhi oleh pelaku-pelaku
bisnis domestik. Apabila negara tidak merasa yakin atas hal di atas, pilihan
tentunya bergeser pada pembukaan ekonomi negara. Kedua hal ini tentunya
mempunyai manfaat dan targetnya masing-masing.
Nah, sekarang tibalah giliran Anda untuk
mencoba menimbang-nimbang dan memproyeksi dimana negara Anda berada dalam
proses diaspora globalisasi yang membawa misi liberalisasi sebagai tujuan
utamanya :)
***