#Muchtar Muin Mallarani
Berakhirnya Perang Dingin telah menandai
berbagai perubahan signifikan dalam peta konstelasi politik internasional.
Salah satunya adalah terjadinya transformasi dalam power dan kepentingan
diantara negara-negara besar. Kawasan Asia Timur merupakan salah satu arena
persaingan power dan kepentingan diantara dua negara adidaya, Amerika Serikat
dan Uni Soviet. Area persaingan mereka adalah Semenanjung Korea dan Laut Cina
Timur.
Melemahnya peran dua negara adidaya
pasca Perang Dingin memberikan peluang munculnya multipolaritas dalam politik
internasional di Asia Timur. Politik internasional tidak lagi didominasi oleh
Amerika Serikat dan Uni Soviet melainkan juga diwarnai dengan kemunculan
negara-negara internal kawasan sebagai kekuatan-kekuatan baru, Republik Rakyat
Cina (RRC), Korea Utara, Korea Selatan dan Jepang. Keempat negara tersebut
didukung dengan kekuatan ekonomi dan militer yang dalam beberapa tahun terakhir
ini menunjukkan ambisinya sebagai kekuatan adidaya di kawasan.
Eskalasi
Politik dan Ancaman Keamanan Kawasan
Selama dua dekade terakhir, konstelasi
politik, kebijakan strategi militer dan dinamika hubungan internasional di
kawasan Asia Timur mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat dinamis dan
kompleks. Perubahan mendasar terjadi sejak berakhirnya Perang Dingin yang
menandai berakhirnya bipolaritas Amerika Serikat dan Uni Soviet di kawasan ini.
Namun, dalam perkembangannya, berkat kemajuan ekonomi yang dibarengi dengan
peningkatan kapabilitas militer RRC, posisi Uni Soviet digantikan oleh RRC
dalam menjaga keseimbangan kekuatan di Asia Timur. Kondisi faktual ini dapat
diamati dari peran dan posisi RRC terhadap Korea Utara, khususnya dalam hal
kerjasama militer.
Pasca Perang Dingin, isu-isu keamanan
kawasan merupakan permasalahan utama yang dialami negara-negara Asia Timur.
Berbagai kecurigaan antar negara tetangga semakin memperburuk lingkungan
keamanan di kawasan ini sehingga masing-masing negara berupaya membangun
kekuatan militer guna melindungi dan mencapai kepentingan keamanan nasionalnya.
Kondisi ini dapat diamati dari kebijakan pertahanan empat negara di kawasan
ini; RRC, Korea Utara, Korea Selatan dan Jepang. Dalam pada itu, keempat negara
tersebut perlu terus membangun saling percaya dengan melakukan transparansi
tentang kebijakan pertahanan masing-masing negara menyangkut isu-isu keamanan
kawasan.
Dalam bidang keamanan, kawasan Asia
Timur kini telah dihadapkan dengan berbagai ancaman dan tantangan yang cukup
serius. Kenyataan muncul ketika Korea Utara berhasil meluncurkan roket jarak
jauh, Unha-3 yang berhasil mengorbitkan satelit Kwangmysong-3, 12 Desember 2012
lalu yang dipandang berpotensi mengancam stabilitas keamanan Asia Timur.
Kenyataan ini muncul bersamaan dengan potensi kebangkitan militerisme Jepang
dan RRC yang bersengketa atas klaim tumpang tindih kedaulatan di pulau-pulau
kosong di Laut Cina Timur.[1]
Kondisi ini membuat negara-negara Asia Timur waspada dan mulai saling membentengi diri dengan kesiapsiagaan militer sebagai reaksi atas ketegangan krisis Semenanjung Korea dan krisis Laut Cina Timur yang semakin menjadi. Korea Utara dengan dukungan RRC terus berupaya mengembangkan program nuklirnya yang dibarengi dengan berbagai percobaan peluncuran roket dan misil sebagai bentuk diplomasi prestise kepada dunia, khususnya Korea Selatan dan Amerika Serikat. Sementara itu, di wilayah selatan, berbagai latihan militer bersama Korea Selatan dan Amerika Serikat terus dilakukan sebagai reaksi perimbangan kekuatan di Semenanjung Korea.
Di satu sisi, Jepang mengalami dilema pertahanan mengingat meningkatnya kekuatan militer RRC dan keberhasilan program nuklir Korea Utara yang dapat membahayakan stabilitas keamanan kawasan Asia Timur sehingga sangat memungkinkan untuk mulai merevisi Konstitusi Pasifis dan membangun kembali kekuatan angkatan militernya mengingat situasi dan kondisi stabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Timur mengalami ketegangan.
Jenis dan
Substansi Krisis di Asia Timur
Dalam satu dekade terakhir, isu krisis
keamanan dan politik di kawasan Asia Timur merupakan bahan pembicaraan utama
yang ramai dibicarakan oleh masyarakat internasional. Krisis yang terjadi di
kawasan Asia Timur mencakup krisis Semenanjung Korea, krisis Selat Formosa,
krisis Laut Cina Selatan, dan krisis Laut Cina Timur. Dari berbagai krisis yang
terjadi, krisis Semenanjung Korea dan krisis Laut Cina Timur menjadi pusat
perhatian dunia dan isu sentral di kawasan Asia Timur.
Krisis Semenanjung Korea merupakan jenis
krisis politik yang berimplikasi kepada keamanan yang dapat berujung pada
perang. Krisis Semenanjung Korea adalah warisan dari Perang Korea yang terjadi
dari tahun 1950-1953. Walau telah sering mengadakan pertemuan antar kedua
negara, baik Korea Utara maupun Korea Selatan belum menemui kesepakatan hidup
berdampingan dengan damai sebagai suatu negara berdaulat. Kompetisi dan
kecurigaan masih menguasai mindset
pemerintah kedua negara sehingga sampai saat ini, krisis skala kecil masih
sering terjadi yang tentu saja dapat membahayakan stabilitas keamanan Asia
Timur.
Hubungan antara Korea Utara dan Korea
Selatan selalu mengalami ketegangan yang berdampak bagi stabilitas politik dan
keamanan di Asia Timur. Adanya sikap Korea Utara yang secara diam-diam
mengembangkan kekuatan nuklirnya yang membuat ketegangan kembali terjadi. Korea
Selatan, Jepang, RRC dan juga Amerika Serikat melihat adanya potensi konflik
yang jika tidak dihentikan maka dapat memicu terjadinya perang.
Sementara itu, kawasan Laut Cina Timur merupakan area strategis yang mempertemukan Jepang, RRC, dan Korea Selatan. Kawasan ini memiliki rantai pulau yang kini menjadi objek sengketa antara Jepang dengan RRC dan Jepang dengan Korea Selatan. Pada satu tahun terakhir ini, sengketa teritorial di kawasan Laut Cina Timur meningkat dengan konfrontasi antara Jepang dan RRC atas kepulauan Senkaku/Diaoyu yang mengintensifkan ke level paling berbahaya sampai saat ini. Ketegangan juga terjadi antara Korea Selatan dan Jepang atas kepulauan Takeshima/Dokdo.
Kepulauan yang disebut Senkaku oleh
Jepang atau Diaoyu menurut RRC itu menjadi titik panas hubungan kedua negara.
Situasi memanas terutama setelah pemerintah Jepang membeli tiga pulau di
kawasan itu dari seorang pemilik pribadi di Jepang, September 2012 lalu. Hal
itu memicu aksi protes anti-Jepang besar-besaran di RRC yang sempat mengganggu hubungan
dagang kedua negara. Pemerintah RRC merespon dengan menerbangkan pesawat
patroli kelautan Y-12 memasuki wilayah udara Kepulauan Senkaku/Diaoyu yang
disengketakan kedua negara, 13 Desember 2012 lalu. Jepang langsung bereaksi
dengan menerbangkan delapan pesawat tempur F-15 Eagle, empat diantaranya
langsung terbang ke kawasan sengketa namun pesawat RRC sudah pergi. Insiden
tersebut terjadi bertepatan dengan peringatan 75 tahun tragedi “Pembantaian
Nanjing” yang dilakukan militer Jepang di RRC, 13 Desember 1937.[2]
Posisi,
Peran dan Ambisi RRC
Dinamika hubungan internasional di
kawasan Asia Timur ini turut mempengaruhi interkoneksitas antar negara di
kawasan ini yang terwujud dalam hubungan bilateral dan multilateral yang
merupakan alat negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya di negara lain.
Adanya perbedaan kepentingan yang menjadi tujuan setiap negara mengakibatkan
interkoneksitas antar negara di kawasan ini juga beragam, tidak hanya pada
kerangka politik-diplomasi tetapi juga pada ranah ekonomi-bisnis, sosial-budaya
hingga kerjasama strategi militer.
Hubungan RRC dan Korea Utara terjalin
erat setelah Korea Utara memilih mengikuti RRC daripada Uni Soviet yang
memiliki kedekatan geografis dan akar budaya yang sama. Rezim Korea Utara
selalu dapat mengandalkan dukungan pemerintah RRC baik dalam kerjasama
pertahanan maupun diplomasi internasional. Di Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-bangsa, RRC selalu membela Korea Utara dan menggunakan hak vetonya untuk
menghalangi setiap sanksi terhadap Korea Utara.
Dalam politik luar negeri RRC terhadap
krisis Semenanjung Korea, kepentingan nasionalnya merupakan upaya RRC untuk
mengejar power demi memelihara kontrol atas Semenanjung Korea. Melalui Korea
Utara, RRC selain ingin tetap mempertahankan pengaruh komunisme di kawasan Asia
Timur juga memiliki arti strategis bagi kepentingan kekuatan nasional dan
kepentingan keamanan nasional.
Selain memelihara kontrol atas Semenanjung Korea, lautan menjadi tumpuan kekuasaan dunia bagi RRC. Sepanjang lima tahun terakhir, konflik laut akan menjadi mandala baru bagi RRC dalam mengukuhkan kekuatan guna melindungi kepentingan nasionalnya di seluruh dunia. Akses ke lautan akan menjadi legitimasi RRC untuk beraksi dan melakukan klaim kedaulatan dan kekuasaan.
Sengketa klaim tumpang tindih di Laut
Cina Timur dengan Jepang dan di Laut Cina Selatan dengan Vietnam,
Filipina,Malaysia, dan Brunei menjadi proyeksi kepentingan nasional RRC dalam
mengendalikan mandala lautan. Sejumlah studi klasik tentang kekuatan laut dan
politik dunia menunjukkan bahwa kekuasaan dunia sebagian besar dilaksanakan
melalui kendali di lautan. Studi-studi ini juga menunjukkan bahwa perubahan
posisi kepemimpinan dunia selalu terkait dengan pergeseran distribusi kekuatan
laut. Inilah yang sedang diproyeksikan RRC dalam mengukuhkan diri sebagai
kekuatan global dengan kemampuan setara negara-negara Barat.[3]
Reaksi
Jepang dan Arah Kebijakan Politik Luar Negeri Jepang
Munculnya RRC sebagai kekuatan adidaya
dan semakin pesatnya kemajuan program nuklir Korea Utara yang dibarengi dengan
pagelaran latihan militer bersama Korea Selatan dengan Amerika Serikat
menimbulkan ketakutan tersendiri bagi Jepang yang memandang masalah ini sebagai
ancaman utama yang tidak hanya mengancam keamanan namun juga mengganggu
perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Timur.
Berbagai kecenderungan memburuknya
lingkungan keamanan di kawasan Asia Timur serta perubahan-perubahan fundamental
yang terjadi dalam konstelasi politik, ekonomi dan keamanan global pasca 9
September 2001 telah memaksa berbagai negara termasuk Jepang untuk meninjau
kembali kebijakan luar negeri dan pertahanannya. Di satu sisi, perubahan ini
merupakan hak prerogratif Jepang dalam melindungi dan mencapai kepentingan
keamanan nasionalnya, namun di sisi lain, akan menimbulkan berbagai kecurigaan
dari negara-negara tetangganya, khususnya RRC, Korea Selatan dan Korea Utara.
Tentu saja, perubahan kebijakan pertahanan Jepang akan berimplikasi terhadap
kawasan Asia Timur dimana Jepang memiliki beberapa pilihan kebijakan yang dapat
diperankannya dalam menjaga stabilitas keamanan di kawasan.
Kompleksitas perkembangan politik dan keamanan di kawasan Asia Timur menyadarkan para pemimpin Jepang untuk mereformulasi politik luar negeri dan pertahanannya. Politik luar negeri suatu negara pada hakikatnya merupakan hasil perpaduan dan refleksi dari kondisi dalam negeri yang dipengaruhi oleh perkembangan situasi internasional. Demikian pula halnya politik luar negeri Jepang tidak terlepas dari pengaruh faktor internal dan eksternal yang berkembang sesuai dengan dinamika yang terjadi.
Faktor internal Jepang dipengaruhi oleh
persoalan ketidakstabilan kepemimpinan nasional. Setelah ditinggal Junichiro
Koizumi, kepemimpinan nasional Jepang mengalami fluktuasi. Selama kurun waktu
2006 – 2012 politik dan pemerintahan di Jepang amat tidak stabil. Setiap tahun
perdana menteri diganti. Mulai dari Shinzo Abe (2006-2007), Yasuo Fukuda
(2007-2008), Taro Aso (2008-2009), Yukio Hatoyama (2009-2010), Naoto Kan
(2010-2011) dan Yoshihiko Noda (2011-2012). Kondisi ini tentu saja mempengaruhi
stabilitas politik dalam negeri Jepang yang berdampak pada ketidakstabilan arah
politik luar negeri Jepang, khususnya menyangkut ketegangan di Semenanjung
Korea dan sengketa klaim tumpang tindih kepemilikan pulau-pulau laut lepas di
Laut Cina Timur dengan RRC.
Sementara itu, ketegangan di Semenanjung Korea yang memungkinkan terjadinya perang nuklir antara Korea Utara yang didukung oleh RRC dan Korea Selatan yang ditopang oleh militer Amerika Serikat sangat membahayakan keamanan nasional Jepang yang mau tak mau akan menyeret Jepang untuk berpartisipasi, setidaknya mempersilakan armada militer Amerika Serikat memasuki wilayah kedaulatannya serta ketegangan di Laut Cina Timur dengan RRC terkait kepemilikan kepulauan Senkaku/Diaoyu yang memiliki arti strategis dalam operasi militer kedua negara merupakan faktor internasional yang menjadi persoalan utama Jepang terkait kedaulatan dan keamanan nasionalnya yang memungkinkan bagi Jepang untuk mengkaji kembali kebijakan pertahanannya.
Perubahan mendasar kebijakan luar negeri
dan reorientasi kebijakan pertahanan Jepang terjadi ketika pemerintah Jepang
mengumumkan dokumen resmi mengenai “National
Defence Program Outline” pada 9 Desember 2004 lalu. Garis besar kebijakan
pertahanan Jepang yang baru ini pada dasarnya memetakan kebijakan pertahanan
Jepang dalam 10 tahun ke depan yang akan menitikberatkan pada program
pembangunan sarana pertahanan jangka menengah, peremajaan alat utama sistem
pertahanan, dan rencana formasi struktur pasukan pertahanan Jepang.[4]
Perubahan fundamental kebijakan
pertahanan Jepang mencapai titik terpenting tatkala parlemen menyetujui usulan
Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe untuk membentuk Departemen Pertahanan
sebagai peningkatan status Badan Pertahanan Jepang (Japan Defence Agency). Hasilnya, pada tanggal 9 Januari 2007,
secara resmi Badan Pertahanan Jepang berubah menjadi Departemen Pertahanan.[5]
Kini, setelah diketahuinya hasil pemilihan umum yang dimenangkan oleh Liberal Democratic Party (LDP) dan kembalinya Shinzo Abe menjabat Perdana Menteri Jepang yang baru setelah sebelumnya (2006-2007) sempat menjabat namun mengundurkan diri karena faktor kesehatan, masyarakat Jepang menanti arah dan wujud kebijakan politik luar negeri Jepang. Shinzo Abe terpilih sebagai perdana menteri baru Jepang di Parlemen Majelis Rendah, 26 Desember 2012. Abe memenangkan dukungan 328 anggota dari 480 kursi Majelis Rendah.[6] Beberapa tugas berat telah menanti perdana menteri baru Jepang tersebut.
[1] Rene
L. Pattiradjawane. Roket Korut dan
Perubahan Radikal di Asia. Kompas, 15 Desember 2012, hal. 8
[2] Kompas. 14 Desember 2012. “Sengketa Wilayah: Delapan F-15 Jepang Cegat
Pesawat China”, hal. 8
[3] Rene L. Pattiradjawane. Lautan Tumpuan Kekuasaan Dunia. Kompas,
3 Januari 2013, hal. 10
[4] Anak Agung Banyu Perwita. Reorientasi Kebijakan Pertahanan Jepang dan
Stabilitas Keamanan Asia Pasifik. Jakarta: Analisis CSIS, Vol. 36, No. 1,
Maret 2007, hal. 56.
[5] Ibid, hal. 55
[6] Martin Fackler. Ex-Premier is Chosen to Govern Japan Again.
http://www.nytimes.com/2012/12/27/world/asia/shinzo-abe-selected-as-japans-prime-minister.html?_r=0.
Diakses pada tanggal 31 Januari 2013, pukul 16.39 WITA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar