Dalam satu dasawarsa terakhir ini, daratan Eropa tidak lagi disibukkan dengan perang yang bergejolak yang berlatar belakang ekonomi, persaingan wilayah, ideologi, agama, hingga politik. Bangsa Eropa tidak lagi terpecah-pecah, sibuk mengangkat senjata, mengembangkan industri persenjataan, saling beradu strategi untuk menyerang dan mengalahkan musuh, hingga pada pentasbihan diri sebagai jawara atau Negara yang terkuat atau bangsa yang terunggul di seantero Eropa. Akan tetapi, daratan Eropa kini telah menjelma menjadi sentrum industri baru berbasis keterampilan, ketangkasan dan semangat juang yang membara untuk menjadi pemenang tanpa memegang senjata. Ya, itulah tren baru di Eropa; Industri Sepakbola.
Liga-liga Eropa sangat mengesankan. Menghadirkan pemain dan pelatih yang professional, menyuguhkan permainan yang memukau, menampilkan stadion dan segala kemewahan peralatan yang lengkap, manajemen yang terampil, dan promosi yang gencar serta meleburkan perbedaan ras, negara dan warna kulit. Ia kebanjiran iklan dan disuplai dana yang melimpah. Sebuah permainan yang seantero dunia dapat menyaksikannya. Lihat saja, Liga-liga Eropa dari musim ke musim, klub-klub sepakbola Eropa berlomba dan saling berebut pemain untuk menghadirkan permainan yang berkualitas dan mengejar impian berlabuh diajang bergengsi; Liga Champions Eropa.
Di awal-awal musim kompetisi, jangan heran bila pergantian, transfer, hingga pembelian pemain dan pelatih menjadi marak diperbincangkan, penuh teka-teki, menegangkan dan sekaligus menjadi ajang unjuk kekuatan finansial klub. Tidak hanya itu, renovasi bahkan pembangunan baru stadion sebagai markas klub tak luput dari pengamatan. Inilah tren sepakbola di Eropa, tidak lagi sekadar permainan olahraga. Klub sepakbola di Eropa lebih pas dilihat sebagai entitas bisnis, ketimbang olahraga. Uang yang berputar di sana, membuat ngiler. Sebuah permainan telah berubah menjadi industri.
Industri Sepakbola
Sepakbola kini bukan lagi sekadar olahraga atau permainan. Ia telah menjadi komoditas yang tidak berbeda dengan produk lain yang beredar dalam sistem pasar. Ia telah menjadi industri. Liga Champions Eropa 2010 misalnya, pertandingan sepak bola di kalangan klub-klub jawara yang mewakili Negara mereka yang tengah berlangsung dan akan memasuki babak perdelapan final, hingga akhir bulan April, bukan pengecualian dari premis ini.
Dalam event yang berlangsung setiap tahun itu, ada mekanisme yang mempertemukan hukum permintaan dan penawaran. Di sana ada tim, pemain, pelatih, dan penyelenggara sebagai pemasok. Di sana ada pula pemirsa yang membeli permainan, tontonan, drama, dan hiburan sebagai komoditas. Dari waktu ke waktu, pertandingan sepakbola, apalagi yang bertaraf internasional seperti Liga Champions, bukan lagi semata arena pertandingan yang mengadu ketangguhan, kekuatan, dan kecerdasan tim wakil sebuah negara. Yang lebih menonjol adalah penguatan hukum pasar yang berkembang sedemikian rupa menjadi industri.
Liga-liga sepakbola Eropa selalu menjadi daya tarik bagi pesepakbola dari berbagai belahan dunia, karena menjanjikan kebesaran nama dan tentunya penghasilan yang bisa melimpah ruah. Seorang bintang bahkan dapat mencapai nilai transfer trilyunan rupiah. Ya, sepakbola telah menjadi sebuah industri hiburan dan menempatkan para pemain bintang menjadi selebritis. Keberhasilan Eropa membuat sepakbola menjadi ladang uang mengubah wajah cabang olahraga ini di seluruh dunia.
Untuk memenuhi unsur hiburan tadi, talenta terbaik dari berbagai belahan dunia pun “diperjual belikan” di bursa transfer internasional. Tentu saja, kelas pertama adalah Eropa, sehingga tidak mengherankan bila pemain sepakbola terbaik dunia selalu berasal dari salah satu kesebelasan di Eropa. Tidak mengherankan, kesebelasan besar seperti Real Madrid, Barcelona, Manchester United, Chelsea, Arsenal, dan kesebelasan besar lainnya dipenuhi bintang dari berbagai negara. Atas nama profesionalisme dan industri hiburan, tidak ada aturan yang jelas tentang komposisi pemain lokal dan impor yang boleh dimainkan dalam sebuah pertandingan.
Prestasi dan Prestise
Sepak bola di Eropa adalah aktivitas manusia yang telah menjadi salah satu ukuran peradaban. Semakin maju prestasi sebuah tim dalam sebuah kompetisi, semakin tinggi penghargaan yang diperoleh tim tersebut. Pemain-pemain profesional yang berkualitas menjadi incaran dalam bursa bernilai triliunan rupiah. Di sana, ada pula bursa pelatih, dan bursa penyelenggaraan yang lantas berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan.
Akhir Februari lalu, Tabloid BOLA mengumumkan nilai skuad klub di Eropa. Barcelona menempati urutan pertama dengan nilai skuad 514 juta Euro, disusul Real Madrid 473,5 juta Euro. Lalu Chelsea (436,25), Inter Milan (394,35), Manchester United (375,5), dan Bayern Muenchen (238,5) semua dalam jutaan Euro. Tentu saja, perangkingan ini tidak terlepas dari prestasi klub tersebut dari pertandingan ke pertandingan, serta didukung manajemen dan daya finansial mereka. Keenam klub ini adalah klub-klub papan atas penguasa Liga domestik dan langganan Liga Champions Eropa, yang menjadi incaran utama para pemain sepakbola dunia.
Karena itu, adalah jamak bila sepakbola kemudian menjadi pusat impian dan harapan bagi anak-anak muda dunia untuk meningkatkan kelas sosial mereka. Dari kelas pekerja menjadi kelas pemodal. Dari kelas pesuruh menjadi kelas pengatur. Dan hasilnya adalah bertaburannya orang-orang terkaya dalam usia sangat muda. Wayne Rooney, Lionel Messi dan Christiano Ronaldo adalah generasi orang-orang muda terkaya yang lahir dari kebudayaan populer itu. Sebagai hero, pamor, dan kekayaan mereka tidak kalah dari para bintang di pusat industri film Amerika, Hollywood. Juga tidak mencengangkan bila gaji mereka jauh lebih tinggi daripada gaji seorang Perdana Menteri Inggris.
Event seperti Liga Inggris (Premier League), Liga Spanyol (La Liga), Liga Italia Serie A) dan Liga Jerman (Bundesliga) dari waktu ke waktu pada akhirnya hanyalah tapal batas dari fenomena yang semakin lama semakin menjadi magnet dan penggerak. Magnet dari pusat kebudayaan dunia dan penggerak bagi pertumbuhan roda ekonomi. Ia adalah bagian tidak terpisahkan dari daya tarik kapitalisme global yang tidak terelakkan.
Begitulah industri bernama sepakbola. Ia bisa beromzet triliunan rupiah. Tiap transaksi tak hanya menghasilkan keuntungan pribadi pemain dan agennya, tapi juga keuntungan bagi klub, Negara dimana ia harus membayar pajak penghasilannya, media massa, dan para sponsor yang terlibat di dalamnya. Serta, tentu saja, seorang bintang sepakbola bisa memberikan benefit berupa hiburan yang sehat bagi masyakat penonton bola di seluruh penjuru dunia.
Padahal, sepakbola pada mulanya adalah sebuah tradisi tendang menendang bola yang dimainkan oleh sekelompok penduduk yang bermukim di Eropa. Kini tak begitu penting, bukan? memperdebatkan darimana asalnya sepakbola? Meskipun Inggris mengklaim negeri mereka sebagai tanah kelahiran sepakbola modern: "kampung halaman sepakbola". Dalam sistem masyarakat industri saat ini, pertanyaan yang paling dominan soal sepakbola, adalah di negeri mana sepakbola menghasilkan keuntungan terbesar?