#Muchtar Muin Mallarani
Menyebut
nama Aborigin dan Australia, biasanya kesan pertama yang muncul di pikiran
orang awam adalah hubungannya dengan orang-orang putih atau Eropa. Sebelum
kontak dengan pendatang-pendatang dari Eropa, kehidupan mereka disinyalir
terisolir tanpa hubungan dengan bangsa lain. Anggapan Eropa itu adalah salah,
karena hubungan orang-orang Aborigin dengan bangsa lain justru terjadi sebelum
kontak dengan orang-orang Eropa. Ya, jauh sebelum kedatangan rombongan Kapten
Phillip dari Kerajaan Britania di Eropa mendaratkan kapalnya di Teluk Botany,
pelaut-pelaut Makassar dengan Kapal Pinisinya telah lama mendaratkan sauhnya di
bumi Kangguru bahkan telah berinteraksi dengan penduduk setempat.
Kontak
orang-orang Aborigin dengan orang-orang Makassar telah lama terjalin.
Orang-orang Makassar tiba di benua Australia tidak untuk menjajah tetapi untuk
kepentingan ekonomi. Mereka tiba tidak dengan pendapat bahwa bumi Australia ini
kosong sehingga mereka mempunyai hak mutlak atasnya. Orang-orang Makassar
menyadari bahwa mereka adalah tamu di bumi Aborigin sehingga konflik berdarah
tidak pernah terjadi. Kondisi ini berbeda dengan Eropa. Bagi Aborigin,
pertemuan dengan rombongan Kapten Phillip adalah suatu pengalaman yang asing. Suatu
pengalaman yang sama sekali baru yang berawal dari suatu kecurigaan dan
kemudian berubah menjadi konfrontasi fisik.
Kehadiran
bangsa Makassar di Australia tentu mengundang banyak tanya. Mulai dari
bagaimana mereka bisa sampai kesana, apa yang mendasari perjalanan mereka
hingga sampai di benua paling selatan bumi ini, hingga bagaimana pola interaksi
mereka dengan bangsa Aborigin semuanya akan dijelaskan dalam tulisan ini.
Teripang Conection
Bangsa
Aborigin telah lama berhubungan dengan pelaut-pelaut Makassar jauh sebelum
kedatangan rombongan Kapten Phillip dari Eropa. Kapan persisnya hubungan ini
dimulai kurang jelas. Dalam buku karangan Macknight (1976) The Voyage to Marege, dia memperkirakan terjadi antara tahun 1650
sampai 1750. Masa itu adalah masa-masa kejayaan Kerajaan Makassar. Menurutnya,
pelaut-pelaut dari Makassar ini berlayar ke Australia tepatnya di bagian Utara yang
mereka namai Marege untuk mencari teripang yang nantinya mereka jual ke daratan
Cina.
Sebelumnya,
teripang ini tidak begitu terkenal, namun menurut para ahli ada relasi antara
mulai dikenalnya teripang di daratan Cina dan munculnya pelaut-pelaut Makassar
di Australia Utara.
Orang-orang
Makassar biasanya memperhatikan siklus angin dan musim dalam pelayaran ke
Australia. Mereka biasanya tiba sekitar bulan Desember dengan armada sekitar 30
sampai 60 perahu. Tiap perahu isinya sekitar 30 orang. Mereka biasanya mencari
teripang selama empat sampai lima bulan dan baru kembali ke Makassar sekitar
bulan April bersama angin tenggara.
Mereka
tidak menetap di Marege tetapi tinggal selama empat bulan setiap tahunnya.
Orang-orang Makassar itu menukar hak memanen ketimun laut dengan aneka komoditi
seperti pakaian, tembakau, pisau, beras dan alkohol dengan penduduk Aborigin,
selain juga mempekerjakan laki-laki setempat. Selama periode itu mereka memanen
teripang dengan menggunakan tombak bermata tiga kemudian merebus dengan
menggunakan periuk di pantai, mendinginkan di pasir lalu mencucinya dengan air
laut dan kemudian mengasap serta menjemurnya dibawah sinar Matahari.
Mereka
kembali berlayar ke Makassar pada bulan April memanfaatkan angin monsoon
membawa teripang kering itu untuk kemudian dijual ke China. Orang-orang China
dari Canton (Guangzhou) dan Amoy (Xiamen) datang ke pelabuhan Makassar membawa
komoditi porselen dan kemudian kembali ke negerinya membawa teripang. Pada
pertengahan abad 19 diketahui orang Makassar membawa sekitar 900 ton teripang
dari Marege yang merupakan sepertiga kebutuhan di China.
Sejarawan
kurang yakin apakah perjalanan dimulai dari Makassar ke Marege
(nama yang diberi Makassar untuk pantai utara Australia). Perdagangan teripang
dari Makassar telah dimulai sekitar tahun 1720, meskipun beberapa penulis
menyatakan perjalanan telah dimulai 300 tahun lebih awal (sekitar tahun 1400).
Perdagangan
mulai merosot pada akhir abad ke-19 karena penetapan bea cukai oleh pemerintah
Australia. Setelah penerapan undang-undang untuk melindungi "integritas
wilayah" Australia, perahu Makassar terakhir meninggalkan Arnhem Land
tahun 1906. Permintaan teripang juga menurun karena kekacauan di Cina pada masa
itu.
Interaksi dan
Akulturasi
Menurut
Macknight, pengalaman orang-orang Makassar berhadapan dengan orang-orang
Aborigin bagaikan ‘peradaban’ berhubungan dengan ‘keprimitifan’. Walaupun
demikian, jumlah orang Makassar ketika bertemu dengan mereka selalu jauh lebih
banyak dan juga tidak pernah tergantung pada mereka. Tujuan utama orang-orang
Makassar adalah untuk mendapatkan teripang dan juga berdagang (barter) dengan
orang-orang Aborigin. Dari pihak Makassar biasanya menukar barang-barang
seperti pakaian, tembakau, pisau, makanan dan alkohol demi hak untuk menangkap
ikan di perairan Aborigin. Mereka juga mempekerjakan penduduk asli. Sedangkan
dari pihak Aborigin berupa kulit penyu dan kulit mutiara.
Menurut
Macknight, orang-orang Makassar adalah pengamat yang tajam, mereka lambat laun
dapat mengerti kebiasaan-kebiasaan dan tabiat penduduk asli Marege. Baik pihak
Makassar maupun Aborigin saling mengenal satu sama lain hingga hubungan mereka
terjalin dengan baik. Begitu lancer hubungan antara mereka sampai-sampai ada
orang Aborigin yang berkunjung ke Makassar. Tahun 1824 ada 17 orang Aborigin
yang datang ke Makassar. Orang Makassar pun biasanya mengambil wanita Aborigin
sehingga tidak aneh kalau ada orang-orang campuran Aborigin dan Makassar di
Australia Utara.
Hubungan
Makassar dengan penduduk asli Australia masih diingat hingga kini, melalui
sejarah lisan (lagu-lagu, tarian) dan lukisan-lukisan batu, dan juga melalui
perubahan warisan budaya yang diakibatkan oleh hubungan ini.
Beberapa
komunitas Yolngu di Arnhem land mengubah
ekonomi mereka dari berbasis darat menjadi berbasis laut, karena masuknya
teknologi Makassar seperti kano. Kapal-kapal yang mampu berlayar itu, tidak seperti kano
tradisional, memungkinkan penangkapan dugong dan penyu di laut.
Beberapa
pekerja Aborigin menemani orang Makassar kembali ke Sulawesi Selatan. Bahasa Makassar menjadi lingua franca di pantai utara, tidak hanya antara Makassar dengan penduduk
Aborigin, tetapi juga antara suku-suku Aborigin yang berbeda. Kata dari bahasa
Makassar masih dapat ditemui dalam bahasa-bahasa Aborigin di pantai utara;
misalnya rupiah (uang), jama (kerja), dan balanda (orang
kulit putih). Barang-barang yang diperdagangkan Makassar menyebar hingga ke
selatan. Selain itu, kemungkinan Makassar telah membawa agama Islam ke Australia.
Tak
mengherankan Bahasa Makassar menjadi bahasa umum yang dipakai orang-orang
Aborigin di Marege untuk berinteraksi dan berkomunikasi termasuk dengan suku-suku
Aborigin yang berbeda. Suku Yolngu, Iwaidja, penduduk pulau Tiwi, pulau Elcho
dan selat Tores telah menyerap kata-kata seperti rupiah (uang), jama (kerja),
atau balanda (orang kulit putih). Mereka juga mengadopsi teknologi perahu
lepa-lepa yang mereka namakan Lipalipa.
Kunjungan
mereka telah memberikan pengaruh bagi penduduk Australia Utara dalam bahasa,
seni, ekonomi, dan bahkan genetik keturunan Makassar dan Australia. Peninggalan
yang tersisa dari sejarah hubungan orang Makassar dan benua Australia ini
diantaranya adalah pohon-pohon asam jawa, koin-koin VOC, porselen China, serta
periuk untuk merebus teripang selain juga beberapa keturunannya di Australia
Utara.
Sumber Data:
MacKnight, CC. (1976). The
Voyage to Marege: Macassan Trepangers in Northern Australia. Melbourne
University Press
Philips
Kitley, dkk. 1989. Australia di Mata
Indonesia: Kumpulan Artikel Pers Indonesia 1973-1988. Jakarta: PT Gramedia
Ratih
Hardjono.1992. Suku Putihnya Asia:
Perjalanan Australia Mencari Jati Dirinya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Sumber Gambar: