Selasa, 18 Desember 2012

DINAMIKA POLITIK ASIA-PASIFIK DAN POSISI INDONESIA: SUDUT PANDANG GEOPOLITIK


#Muchtar Muin Mallarani

Berakhirnya Perang Dingin telah menandai dimulainya suatu babak baru dalam peta konstelasi politik internasional. Selama dua dasawarsa terakhir, konstelasi politik internasional mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat signifikan, dinamis dan kompleks. Kecenderungan ini dipicu oleh berbagai perubahan mendasar yang terjadi di lingkungan internasional, yaitu semakin mengemukanya globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, budaya, politik hingga militer dan munculnya regionalisasi di berbagai kawasan dunia baik dalam pendekatan geografi, sosial-budaya, ekonomi dan politik serta perubahan tatanan geopolitik dunia kontemporer dari bipolar menjadi multipolar, dari persaingan politik-keamanan menjadi ekonomi-politik serta pergeseran letak jantung dunia dari Eropa Timur ke Asia-Pasifik.
 Asia-Pasifik merupakan kawasan yang berada pada belahan dunia bagian timur yang mencakup negara-negara Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Selatan dan Oseania termasuk Australia. Kawasan ini memainkan peran signifikan semenjak kemajuan ekonomi yang dialami oleh negara-negara Asia Timur; Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Cina serta keberhasilan pembangunan ekonomi negara-negara Asia Tenggara pasca krisis moneter dan perubahan arah kebijakan politik dan ekonomi Australia yang semakin mendekatkan diri ke Asia telah menjadikan kawasan ini tumbuh berkembang, dinamis, maju dan berpengaruh, baik secara geopolitik maupun secara geoekonomi di dunia.

Fenomena Keajaiban Asia

Fenomena Kebangkitan Asia telah membuat banyak pengamat politik dan ekonom dunia menyebut abad ke-21 sebagai Abad Asia. Salah satu diantaranya ialah John Naisbitt. John Naisbitt dalam bukunya yang laris terjual Megatrends Asia: Eight Asian Megatrends that are Reshaping Our World, menulis bahwa;
Today, global forces are forcing us to confront a new reality: the rise of the East. It is becoming apparent to the East and to some in the West that we are moving toward the Easternization of the world. In the global context, the West is still important, but no longer dominant. The global axis of influence has shifted from West to East.
Pernyataan John Naisbitt ini merupakan wujud kekaguman Barat terhadap realitas Kebangkitan Timur. Sebagai seorang ekonom dan analis ekonomi-politik, ia merasakan sendiri fenomena Keajaiban Asia; bagaimana wajah Asia berubah, bagaimana bangsa-bangsa Timur ini berhasil memakmurkan bangsanya dan memajukan negaranya serta menjadikan kawasan Asia sebagai jantung dunia kontemporer. Naisbitt mengakui terjadinya gejala Easternization pada dunia dimana Asia memainkan kartu as global baik secara geopolitik, geoekonomi dan geostrategi di dunia.
Fenomena Keajaiban Asia turut mempengaruhi dinamika politik internasional. Kemajuan Asia Timur telah mengubah cara pandang dan kebijakan luar negeri negara-negara besar di kawasan Asia-Pasifik yang memiliki pengaruh dan kepentingan baik secara geopolitik, geoekonomi dan geostrategi di kawasan ini utamanya negara-negara besar seperti Australia, Amerika Serikat, Jepang dan Cina. Hal ini dapat diamati dari kebijakan luar negeri Australia yang semakin mendekatkan diri pada Asia utamanya Asia Tenggara. Kebijakan luar negeri Amerika Serikat pasca kemenangan Barack Obama 2008 lalu yang melakukan kunjungan luar negeri pertama melalui Menlu Hilarry Clinton ke empat negara Asia; Indonesia, Jepang, Korea Selatan dan Cina. Dorongan besar Jepang untuk meningkatkan kapabilitas militernya serta agresifitas Cina dalam membentengi garis-garis perbatasan negaranya serta memainkan pengaruh luar negerinya melalui serangkaian kerjasama dengan negara-negara tetangga di barat melalui kerjasama Shanghai Cooperation Organization (SCO) dan tenggara melalui pembentukan Greater Mekong Sub-region (GMS). Kondisi inilah yang sekarang mewarnai dinamika politik dan strategi di kawasan Asia-Pasifik yang memerlukan kajian mendalam untuk menelaahnya baik untuk kepentingan stabilitas kawasan maupun untuk kepentingan analisis geopolitik dan geostrategi negara-negara besar tersebut di kawasan Asia-Pasifik.

Konstelasi Politik Kawasan

Kemajuan ekonomi dan stabilitas moneter negara-negara Asia-Pasifik tidak serta merta dibarengi pula dengan stabilitas politik antar negara dan kawasan, namun sebaliknya beragam masalah turut mewarnai dinamika kehidupan politik negara-negara di kawasan Asia-Pasifik. Konflik perbatasan antar negara, sengketa kepemilikan pulau, klaim penguasaan wilayah, ancaman disintegrasi bangsa dan gerakan separatis kemerdekaan dalam negeri serta disharmonisasi dan rasa kecurigaan antar negara dalam hubungan bertetangga dua negara adalah serangkaian masalah yang menghiasi pemberitaan di media massa, menjadi kajian analisis bagi para penstudi Hubungan Internasional dan bahan evaluasi diplomasi bagi para diplomat dan politisi di hampir semua negara-negara di kawasan ini. Konflik perbatasan antar negara kerap terjadi antara Indonesia-Malaysia serta antara Thailand-Kamboja. Sengketa kepemilikan pulau melibatkan Jepang-Cina serta Cina-Taiwan bersengketa. Klaim penguasaan wilayah Sabah oleh Filipina terhadap Malaysia serta Laut Cina Selatan oleh Cina terhadap negara-negara Asia Tenggara kerap mengganggu stabilitas kawasan. Pergerakan separatis dan perjuangan kemerdekaan berdengung di wilayah Papua-Indonesia, Mindanao-Filipina, Thailand Selatan-Thailand, Rohingya-Myanmar, serta Taiwan dari Cina. Disharmonisasi dan kecurigaan antar negara tetangga masih saja menghinggapi mindset masyarakat dan pemerintah negara Korea Selatan terhadap Korea Utara, Cina terhadap Jepang, Kamboja terhadap Vietnam, serta Australia terhadap Indonesia dan juga negara-negara kepulauan Pasifik terhadap Indonesia. Ragam masalah ini menjadi persoalan utama di semua negara dan organisasi kawasan dan menjadi bahan evaluasi dan masukan dalam perumusan kebijakan baik dalam menyikapi politik domestik maupun hubungan luar negeri masing-masing negara.

Pelajaran untuk Indonesia

Menyikapi dinamika hubungan internasional yang terjadi di kawasan Asia-Pasifik dapat menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Diantara negara-negara Asia-Pasifik, Indonesia merupakan negara dengan tingkat potensialitas konflik dan ancaman disintegrasi yang paling potensial. Keberagaman suku bangsa, agama, ras, dan kebudayaan serta tinggalan sejarah kolonial dalam pembagian kekuasaan adalah ragam potensialitas ancaman tersebut. Selain itu, Indonesia merupakan negara berkaki dua dimana satu kakinya berada di Asia dan satunya lagi berada di Pasifik yang secara geografis berada pada posisi sentral dari letak geografis negara-negara besar di kawasan Asia-Pasifik, yaitu Australia di selatan, Amerika Serikat di timur, Jepang dan Cina di utara serta India di barat. Semua ini sepatutnya menjadi acuan dalam menyikapi dinamika hubungan internasional di kawasan Asia-Pasifik.
Pasca lepasnya Timor Timur dari Indonesia yang membentuk negara sendiri, keinginan kuat yang sama hampir terjadi di beberapa daerah di Kawasan Timur Indonesia seperti Papua dan Maluku Selatan. Masalah ini kurang mendapatkan perhatian khusus dan tidak didukung oleh strategi nasional untuk mengatasi masalah yang timbul. Selain itu, Indonesia tidak menganggap Australia sebagai negara yang penting dalam kebijakan luar negerinya. Meskipun secara geografis bertetangga dan Australia memiliki posisi sebagai negara industri dan kekuatan menengah di kawasan Asia-Pasifik, akan tetapi kedudukan Australia dari segi kepentingan diplomasi nya berada di bawah tingkatan negara-negara anggota ASEAN. Dari segi kepentingan luar negeri Indonesia, posisi kedua setelah ASEAN ditempati oleh Amerika Serikat, kemudian Jepang dan Eropa Barat. Posisi Australia tidak dipandang dalam skala kebijakan luar negeri Indonesia sehingga luput dari perancangan politik luar negeri Indonesia.
 Selain itu, pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Luar Negeri khususnya kurang mempertimbangkan posisi, peran, dan pengaruh Australia di kawasan Oseania yang menjadi pemimpin, motivator dan penggerak negara-negara Kepulauan Pasifik dalam menyikapi setiap isu-isu lokal dan masalah Hak Asasi Manusia (Human Right) yang berkaitan dengan Papua, Maluku dan Timor yang suatu waktu bisa saja mendukung dan mengkampayekan masalah mereka atas nama Persaudaraan Melanesia guna mencapai persatuan Pan-Melanesia di bawah pengaruh kepentingan dan dominasi Australia. Kondisi ini, sekali lagi wajib dipertimbangkan pemerintah Indonesia dalam merumuskan arah dan strategi kebijakan luar negeri Indonesia terhadap negara-negara Kepulauan Pasifik dan terutama dalam hubungan diplomasi dan kerjasama dengan Australia sebagai pemegang kunci as kedaulatan NKRI di timur Nusantara.

Tidak ada komentar: